31/12/2019

Dank je Wel Leiden: Memaknai Ibadah

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

Sudah di penghujung tahun! 
2019 merupakan tahun saya merasakan banyak hal untuk pertama kalinya; salah satunya adalah pertama kali merasakan kuliah di luar negeri dan gratis hehe (Terimakasih FK UI) 
Saat ini masih libur kuliah sampai 27 Januari (ya ampun masih lama!!!)
selama hidup di sana saya merasa sering kejatuhan ide, bertubi-tubi dan banyak sekali. Sayangnya, seringkali pula saya hanya menulis di notes/buku kecil sebagai check-list yang harus saya penuhi atau hanya berakhir di draft saja.
Jadi langkah ini adalah salah satu upaya saya menepati janji pada diri saya sendiri untuk banyak berbagi, bukan sekadar untuk orang lain (semoga saja tulisan saya ada manfaatnya) tapi yang lebih penting adalah untuk diri saya sendiri di masa depan. 

Kehidupan awal-awal saya di Belanda adalah tentang mempertanyakan: Apakah keputusan saya tepatApa yang sebenarnya saya cari? Apakah saat pulang nanti saya akan membawa sesuatu?
Orang-orang lain tetap bisa menjadi dokter tanpa harus menempuh jalan ini. Tapi saya tidak punya pilihan lain, selain menjalani apa yang sudah ada di depan mata saya. Di sisi lain, berusaha untuk menuliskan apa-apa yang saya dapat selama di sana mungkin adalah solusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan pertanyaan-pertanyaan orang lain.

Ayat di atas merupakan salah satu ayat yang saya baca ketika sedang dalam fase sulit sekali di Leiden, terutama karena homesick dan sedang butuh-butuhnya berbagi dengan orang terdekat (kalau boleh jujur, tahun ini terdapat rangkaian kejadian traumatis dan mencapai puncaknya saat saya justru berjarak berkilo-kilo meter dari rumah. Salah satu titik balik terbesar saya tahun ini, masih berusaha untuk ikhlas, menyembuhkan diri dan baik-baik saja, doakan ya!). Di fase sangat-sangat sulit tersebut, yang saya lakukan agar tetap "waras" adalah berusaha memperbaiki ibadah, setidaknya saya butuh merasa tenang. 

Kembali lagi dengan ayat di atas, setelah membacanya, saya melirik ke sekeliling. Bahasa-bahasa yang tidak saya pahami, warna kulit yang berbeda.
Saya langsung terbersit untuk menulis tentang bagaimana menjalani Islam selama studi di luar, khususnya Leiden. Sebenarnya ragu juga untuk menulis ini, ya rasanya saya tidak baik-baik amat untuk menulis yang berkaitan tentang agama begini (hehe, semoga jadi lebih baik). Tapi ini pun pertama kalinya saya menjadi minoritas dalam periode yang cukup lama. 
Jadi, bismillah..



Beberapa orang sempat menanyakan hal ini ke saya sebelum dan sesudah berangkat,
"Shalatnya gimana?" 
"Kalau shalat di mana?"
"Ada yang rasis gak sih?"
"Takut ga didiskriminasi?"
"Kerudungan gak apa-apa kan?"
"Apa rasanya jadi minoritas?"
dan lain-lain. 

Sejujurnya, sebelum berangkat saya tidak khawatir sama sekali karena di tengah majunya toleransi saat ini, saya yakin bahwa hak beragama adalah hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Selain itu, orang-orang Belanda benar-benar mind your own business. Kebebasan pribadi sangat dijunjung tinggi. Mereka sama sekali tidak peduli agama apa yang dianut; yang penting kita baik. 
Pada intinya, saya tahu sejak awal bahwa saya tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban saya sebagai seorang muslim dan syukurnya hingga kepulangan saya tidak pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan. 

SHALAT 
Saya sampai di Leiden pada akhir Agustus, saat itu masih akhir musim panas. Matahari terbenamnya jam 21.00. Awal-awal butuh penyesuaian dengan jadwal shalat terlebih menahan kantuk karena adzan Isya jam 22.30. 
Namun saat kepulangan, sudah mulai masuk musim dingin sehingga jam 4 sore saja sudah adzan Maghrib.
Hal yang paling saya syukuri adalah di kampus saya (Leiden University Medical Center) ada mushalla! Letaknya di lantai dua. Dari pintu masuk, langsung naik eskalator kemudian belok kiri. Mushallanya tidak besar tapi lebih dari cukup untuk beribadah yang proper
Pintu masuk mushalla
Tempat wudhu
Mushalla untuk laki-laki, untuk perempuan sebenarnya agak sempit di sebelahnya

I left my mukena and Al-Quran there on the last day
Sayangnya, tidak semua gedung di universitas ada mushalla. Semoga suatu hari semakin banyak dan berkembang ya. Waktu saya belajar di perpustakaan Fakultas Hukum (perpustakaannya bagus sekali!!!), ketika waktu shalat, saya harus meminjam ruangan "Quiet Room" yang sebenarnya adalah ruangan multifungsi untuk menyusui dan UKS. Saya harus menyerahkan kartu mahasiswa ke resepsionis untuk menukarnya dengan kunci ruangan berukuran 3x3 meter. Jadi hadirnya tempat yang memang ada untuk shalat di kampus sangat saya syukuri. 
Seingat saya, hanya sekali saya izin meninggalkan kelas untuk shalat karena lebih sering saya shalat sebelum pulang ke rumah, rata-rata kelas saya selesai jam 3 dan masih ada waktu Dzuhur (adzan jam 2 siang). Teman saya juga bilang ada ruangan lain di kampus untuk shalat, seperti ruang meditasi, di dalamnya terdapat tempat ibadah untuk agama lain juga namun saya tidak pernah pergi ke sana.

Kalau di rumah, kami (saya tinggal bersama 3 orang teman lain dari Indonesia) biasanya shalat di ruang tamu! Walaupun ketika pemilik rumah datang ia sempat menganggap kami berantakan karena sembarangan menaruh di ruang tamu. tapi yasudah, we love Jan.
ruang tamu rumah dan tempat shalat
Selama di Leiden, saya sempat mengunjungi dua masjid. Yang pertama adalah Al Hijra yang tidak sengaja kami temukan karena tersasar saat mencari tempat penyewaan sepeda. Beberapa waktu setelahnya, saya menyempatkan berkunjung, sayang masjidnya tutup dan dikunci atau mungkin belum rezekinya saja saya bertemu orang di situ. Namun setiap hari Jumat, kakak kelas saya yang laki-laki selalu shalat di sana.
Yang kedua adalah Imam Maliq Islamic Center, masjid ini saya temukan lagi-lagi secara tidak sengaja saat bersepeda menjelang ujian (hehe, penat sekali waktu itu). Sayangnya, masjidnya tutup juga saat saya berkunjung jadi saya belum berkesempatan untuk shalat di luar rumah dan mushalla LUMC.
Kalau di luar Leiden, saya pernah mencoba mencari masjid di Amsterdam namun sayangnya tidak ketemu dan berakhir dengan shalat di kereta.
Islamitisch Centrum Imam Malik
Masjid Imam Maliq.
Pengalaman shalat lain yang menarik adalah saya pernah shalat di taman depan Reichstag Building di Berlin. Teman-teman saya khawatir karena dilihat banyak orang, padahal sebenarnya tidak ada yang peduli. Serius.
Image result for reichstag"
 saya menggelar sajadah dan shalat di taman itu, hehe
Waktu saya pergi ke pantai Scheveningen di Den Haag, saya hampir saja shalat di atas pasir pantai (HAHA). Sayangnya, teman saya waktu itu melarang karena tidak enak sekali shalat dengan pemandangan orang-orang di pantai. Kalau ingat itu, lucu juga. Padahal tentu jadi pengalaman sekali seumur hidup dan seharusnya shalat kan bisa di mana saja, tapi sekarang saya sadar sih, aneh sekali kalau benar dilakukan. Akhirnya saya shalat di mushalla Festival Indonesia Raya, kebetulan ada acara KBRI waktu itu, isinya makanan-makanan Indonesia tapi mahal banget.

PUASA 
Puasa Ramadhan di negeri orang tentu menarik sekali untuk dirasakan (semoga ada rezekinya suatu hari, aamiin). Tapi syukurnya saya sempat merasakan beberapa kali puasa selama di Leiden. 
Pertama kalinya saat 10 Muharram, waktu itu masih awal musim gugur, total saya puasa adalah 19 jam. Namun, mendekati akhir kepulangan, waktunya semakin sebentar karena matahari pun cepat sekali pergi. 

Di kelas, saya sempat beberapa kali bicara yang berbau keagamaan dengan teman-teman. 
Suatu hari, ada praktikum oral glucose tolerance test yang mengharuskan kami sekelas untuk berpuasa 12 jam malam sebelumnya. 
Teman saya yang berasal dari Austria berceletuk saat makan siang, "Actually I never skip my morning coffee, it feels strange."
Teman-teman yang lain pun menimpali kalau mereka sangat lapar karena tidak sarapan, bahkan ada teman saya yang tidak kuat dan tetap saja memakan pisang pagi itu.
Kemudian saya pun bercerita tentang puasa Ramadhan yang mana itu adalah suatu kewajiban, 
dan ternyata, ada yang tahu!
"Yes, Ramadhan, I know it! And at the end of the month, you will have the big feast right? and of course you eat a lot hahaha"
Orang Belanda sangat ekspresif dan straight forward dalam mengungkapkan pikirannya, lucunya saat saya bercerita, Suzanne membalas dengan, "kamu gak bisa ya puasanya ketika musim dingin? supaya cepat berbuka puasanya, kan matahari cepat terbenam."

Kami menghabiskan siang itu dengan bicara tentang puasa di berbagai agama dan pengalaman teman-teman menghabiskan masa kecil pergi ke gereja, sekolah minggu bahkan Nun School. Kebanyakan dari mereka Kristen, namun tidak sedikit juga yang terang-terangan mengungkapkan bahwa mereka memilih untuk tidak beragama dengan tetap menghargai dan mengamalkan nilai-nilai agama itu sendiri. 


Mereka sangat open minded dan menghargai semua pilihan orang. Dan karena alasan itu, kalau sudah cukup dekat justru teman-teman saya semangat sekali mengajak diskusi, sebuah budaya yang menurut saya masih harus banyak dipupuk. Beberapa kali mereka melontarkan pertanyaan yang kadang saya sendiri masih sulit menjawabnya dan berujung membalas sekenanya.
Irati, salah satu teman saya, bertanya, kenapa kamu wajib berpuasa?

Ternyata, semua teman Belanda saya tidak ada yang tahu tentang mushalla di lantai dua.
Saya beberapa kali jalan ke luar kelas bersama Riturajd, laki-laki berdarah India yang keluarganya berasal dari Suriname. Ia justru baru tahu tentang ruang ibadah itu saat saya pamit berpisah, ia juga mengungkapkan kalau baru tahu kerudung yang saya pakai adalah bagian dari identitas sebagai muslim dan terkejut karena saya harus berdoa minimal 5 kali sehari. Kemudian ia memuji dan bilang kalau pasti tidak mudah, jadi ia menyemangati untuk terus semangat.

Interaksi dengan mereka membuat saya berpikir lagi tentang perdebatan soal menghakimi ibadah dan agama orang lain dengan mudahnya di Indonesia yang tidak ada usai-usainya. Apa iya kita sekrisis itu perihal budaya menghargai pilihan orang lain?

MAKANAN HALAL 
Mengingat kami adalah anak beasiswa yang harus bertahan hidup, untuk makan sehari-hari mau tidak mau kami harus memasak. Perbandingan masak dan makan di luar bisa 10x lipat!
Kami bawa banyak bumbu dan makanan instan dari Indonesia (Indomie to the rescue!), namun untuk tinggal dalam jangka waktu lebih panjang mungkin tidak cukup

Ada beberapa toko halal di Leiden, namanya Mabroek dan Zam Zam, biasanya pemilik tokonya adalah warga Timur Tengah, tapi saya selalu pergi ke Mabroek yang hanya butuh 10 menit bersepeda dari rumah. Baru saya tahu ternyata di sebelahnya adalah toko ganja (tapi ga pernah coba kok!)
Harganya hanya beberapa sen lebih mahal dari supermarket.
Harga 1 kg paha ayam adalah 3.9 euro, berisi 10 potong yang kemudian dibagi 3.
Harga 1 kg daging giling adalah 6 euro.
Karena sudah tahu harga bahan-bahan pokok, kalau lihat harga makanan di luar kadang suka bergumam sendiri, "Duh itu bisa dapat 2 kg daging"


Toko Mabroek
Saat kemalasan melanda, sosis adalah solusinya! apalagi ketika rendang, kebab, perkedel dan makanan perbekalan Ibunda semakin menipis. Pernah kami beli sosis isi 40 untuk berempat yang ternyata sangat mubadzir.


Image result for mekkafood frikandel"
Kami selalu menyebutnya sosis padahal ini namanya Frikandel, penyelamatku!
Kalau di luar rumah, saya biasanya membawa bekal dan kalau sangat terpaksa kami biasanya membeli olahan ikan. Ada fish and chips Mannekin Piss enak banget di Stasiun Utrecht Centraal, siapa pun yang kelak ke Belanda harus coba!
Sedangkan, selama saya berpetualang keliling Eropa, saya sangat mengusahakan untuk mencari restoran halal dan di beberapa kota terhitung mudah ditemukan. Cari di Tripadvisor atau sesederhana google "halal restaurant".

ENAK BANGET.
Harganya 6 euro
Beberapa kali saya pernah makan di kantin kampus (harganya masih sesuai kantong). Fleur, salah satu teman dekat saya, bertanya mengapa saya tidak membel risol isi daging. Saya menjelaskan kalau saya tidak bisa makan daging.
"Oh ya, you have to eat halal! I know that." kemudian ia bercerita tentang toko halal milik orang Turki yang ada di dekat rumahnya di Den Haag dan saat ia kecil, ia bingung ketika melihat daging kebab.
Sebenarnya dari berbagai macam respon yang diberikan oleh teman-teman lokal saya, saya tahu sedikit banyak Islam semakin dikenal, dengan baik-baik. Semoga senantiasa begitu.
Di kampus ada bar yang dikelola oleh mahasiswa, biasanya kalau istirahat teman-teman saya nongkrong di situ untuk makan siang dan minum. Nama barnya Hepato.
Hari terakhir belajar di kampus, selepas makan bersama dengan para dosen, satu kelas pergi ke bar kampus untuk hang out. Ryan, teman saya, waktu itu pesan bir untuk semua orang. Kemudian saya bilang kalau tidak minum, awalnya mereka tidak percaya dan tetap memesankan. Mereka pikir karena saya orang Asia dan takut mabuk. Kata teman saya, orang Asia lebih mudah mabuk kalau minum alkohol karena tidak punya enzim tertentu (saya belum cek soal ini). 
Lagi-lagi saya menjelaskan kalau ini terkait agama, untungnya mereka mengerti juga dan kami tetap mengobrol-ngobrol. 
Teman-teman saya di sana baik-baik sekali, semoga bisa bertemu lagi suatu hari.

PERTAMA KALI BERSUCI DENGAN TANAH 
Hidup di Leiden juga membuat saya juga merasakan pertama kali harus bersuci dengan tanah karena saya dijilat anjing. 
Anjingnya milik host family teman saya.
Kapan lagi kan mencuci baju dan mandi dengan tanah?
Ya tanahnya sedikit sekali sih, ambil depan rumah. Terus ya sudah begitu saja
tapi menarik karena kalau tidak pergi ke sana sangat kecil kemungkinan saya harus bersuci begini.
Pernah juga, seorang anjing di jalan menghampiri saya seolah saya majikannya.
Saya sadar kalau sebenarnya, Islam adalah agama yang mudah karena pada akhirnya akan selalu ada jalan dan solusinya.
Nama anjingnya Boh. Gemas sekali
INTERAKSI SESAMA MUSLIM
Hal yang paling hangat yang saya rasakan selama di Leiden adalah kalau melintas di lorong kampus lalu tiba-tiba disapa, "Assalamualaikum." atau sesederhana bisa menyapa orang lewat dengan salam, pasti dibalas!
atau ketika saya parkir sepeda di stasiun, kemudian setelah saya mengucapkan terimakasih dibalas dengan "Assalamualaikum". Sesenang itu rasanya, sungguh.
Muslim di Belanda nampaknya sudah mulai banyak, di kampus kebanyakan bekerja sebagai helper tapi beberapa kali pun saya lihat ada dokter di mushalla. Kalau untuk mahasiswa, seumuran saya nampaknya masih sedikit, kebanyakan di jenjang lebih tinggi (master, PhD atau riset post-doc).

Banyak sekali hal-hal kecil yang sangat-sangat biasa di tanah air tapi seberharga itu rasanya di luar,
sometimes we take everything for granted without even realize
Saya jadi merasakan bahwa esensi memberikan salam itu semakin terasa: doa diberikan kesejahteraan. Ya, saya sepemikir itu deh anaknya. Hidup di sana membuat saya benar-benar refleksi diri tiap hari, langkah bagus yang harus diteruskan!

Selama di Leiden, ada juga perkumpulan orang Indonesia yang melingkar dan mengaji bersama. Saya masuk ke grup tersebut, biasanya setiap hari Jumat, menghadirkan pembicara-pembicara dengan topik tertentu. 
Bahkan, topiknya juga tidak sembarangan, yang saya ingat pernah waktu itu topiknya tentang hukum agraria dalam Islam. Bahasan yang menurut saya pribadi bahkan jarang diangkat di Indonesia. Pengajiannya jadi wadah untuk berkumpul bersama orang Indonesia dan biasanya banyak makanan Indonesia juga hehe. 

Mengakhiri tulisan ini, waktu saya hidup di sana memang tidak lama,
sangat berkesan karena ini benar-benar pengalaman pertama.
saya sangat menghaturkan syukur untuk kesempatan hidup ini, 
masih akan berbagi banyak cerita tentang hidup di sana!

Saya pun percaya, hidayah itu datang dengan berbagai macam bentuknya, termasuk lewat bagaimana kita beribadah.
Leiden, dengan caranya sendiri, memberi saya kesempatan baru: berusaha menjalankan agama dengan sebaik-baiknya di lingkungan berbeda.
Berusaha tetap memegang teguh nilai-nilai yang sudah tumbuh
sekaligus jadi wadah refleksi sudah sesungguh-sungguh apa saya menjalaninya selama ini

Sepulang dari sana, saya sadar sekali banyak hal yang masih harus saya benahi dan belajar lagi, bukan hanya soal dunia saja. 
saya sadar ilmu saya masih minim banget, 
untuk bisa menjelaskan dengan logis mengapa harus berpuasa saja masih terbatas, 
atau mengapa harus pakai kerudung
atau kenapa kamu ga boleh minum alkohol
atau bahkan, mengapa harus menyembah Tuhan?
banyak pertanyaan-pertanyaan fundamental yang saya sendiri masih ragu bagaimana menjawabnya, menggambarkan masih cetek dan kurangnya saya belajar.

Saya menyadari agama lebih dalam dari rutinitas
bagaimana kita hidup sebagai manusia
dan benar adanya kalau itu adalah pedoman yang mengatur seluruh aspek,
bukan hanya tentang tata cara
lebih dari itu ialah makna lebih dalam dari ibadah itu sendiri
alasan mengapa beribadah

Semoga ada hikmahnya juga
untuk selalu ingat dan saling mengingatkan 
menghargai setiap kesempatan beribadah dengan mudah
sebagai salah satu bentuk rezeki juga.

Pesan yang selalu saya ingat: di mana pun tempatnya, itu tetap bumi Allah jadi jangan luput untuk terus mengagungkan-Nya. Ibadah itu sesederhana mengingat-Nya. 
mungkin masih banyak orang di luar sana yang belum kenal Islam, 
tugas kita adalah jadi representatif agama dengan sebaik-baiknya, 
mereka menilai dari perbuatan kita,
jadi jangan pernah berhenti bertutur kata dan laku yang baik-baik
setiap orang pasti memiliki jalannya masing-masing untuk mengenal diri dan Tuhannya lebih jauh,
buat saya, salah satu jalannya adalah di kota kecil ini.

Ya ampun sebenarnya malu banget menulis seperti ini, rasanya tidak pantas dan sangat tidak Fona.
------------------------------------------------------------------------------
tulisan ini adalah salah satu bagian dari Dank je Wel Leiden.
masih membuka saran judul cerita yang lebih menarik kalau ada hehe.

Ogenblink sounds good. It means : an-eye-blink. A short period of time. Menggambarkan waktu saya di sana sih. the best 3 months of 2019.
Terimakasih sudah membaca!

No comments:

Post a Comment