12/10/2019

Day 44: Pindah ke Jakarta

Sudah pertengahan bulan Oktober, akhir pekan saya di sini semakin terbatas.
Hari ini memutuskan untuk di rumah saja sementara teman-teman pergi ke museum, 
seperti biasa menelpon yang tersayang adalah yang paling utama, 

"Teh, teteh suka berdoa nggak mamah papah pindah ke Jakarta?"
Deg. Saya diam. 
Doa-doa itu pernah terucap di malam-malam saya sendirian memakai baju seragam sekolah tapi tidak ada siapapun di rumah, 
atau ketika bangun pagi untuk Study Tour dan tidak ada yang mengantar saya, 
atau saat meja makan penuh dengan lauk tapi kursinya kosong.
Saya sudah lama tidak merapal doa-doa itu lagi,
seiring dengan kenyataan bahwa semua teman-teman pun sekarang sudah merantau 
dan saya pun sudah menyewa kamar baru di kota lain, 
saya lupa tentang doa itu. 
"Dulu sering..."
"Iya, Mamah jadi membayangkan gimana ya kalau mamah  papah pindah ke Jakarta? Mamah jadi ingin pindah."
Saya berjauhan dengan beliau sejak kelas 2 SMP, 
saat itu Papah dan Dedek masih  di rumah, 
tepat kelas 2 SMA, mereka semua pergi dan saya sendiri. 
"Teteh jauh dari mamah kan udah lama banget ya, 9 tahun mamah di Bengkulu, terakhir bareng sama Mamah, teteh masih SMP. Mamah yang daftarin ke SMP 1."
Saya hanya diam, mengenang lagi masa-masa kesendirian itu, 
penempaan yang mungkin terlalu dini,
yang membuat saya terlampau mandiri. 

"Mamah jadi kepikiran Teh, anak-anak mamah cuma dua, semuanya di pulau Jawa, kalau mau ketemu harus naik pesawat dulu, itu pun satu semester sekali. Mamah papah cari uang di sini, tapi frekuensi ketemu anak masih bisa dihitung jari."
Saya menjauhkan kamera dari muka semata-mata malu kalau beliau tahu saya mulai menangis, beliau benci anaknya menangis. Harus tegar katanya. Tidak boleh cengeng. 
"Kalau mamah papah di Jakarta, kan Damar bisa naik kereta kalau mau ketemu, teteh juga bisa pulang setiap hari Minggu. Frekuensi ketemu anak-anak akan lebih sering."
"Kenapa mamah tiba-tiba kepikiran gitu?"
Sejujurnya, saya pernah sangat sedih karena setiap kali saya mengutarakan harapan untuk mereka pindah, tidak pernah disambut dengan baik. Jakarta itu terlalu sumpek, mereka akan tua di jalan, tidak akan selowong di Bengkulu. Sampai akhirnya saya pun menerima kalau selamanya akan begitu, bahkan mungkin nanti pesta pernikahan saya juga bisa jadi di Bengkulu. 
Bengkulu adalah kota asing yang harus saya akui sebagai rumah; karena orang-orang yang saya anggap rumah ada di sana. 

"Teteh sebentar lagi koass, habis itu internsip, habis itu teteh mau master di luar negeri (aaamiin), mamah cuma kepikiran aja, kapan dong waktu sama mamah papahnya?"
"kan internsip di Bengkulu nanti bisa."
"Iya, tapi kan lebih enak kalau setiap Minggu teteh koass dan bisa pulang ketemu Mamah Papah di Bogor."

"Mamah kangen punya anak ya?"
"Mamah kangen ada anak-anak di rumah. Dalam bayangan Mamah, teteh masih anak SMP, dedek anak kelas 5 SD. Itu yang selalu Mamah pikirkan, padahal Dedek 2 tahun lagi kuliah."
mungkin itu alasan beliau masih sering membujuk saya makan dengan iming-iming disuapi, 
atau beliau yang kerap kali masuk ke kamar saya hanya untuk mematikan lampu dan menyampirkan selimut.

"Iya Mah, teteh udah gede ya.."

Percakapan hari ini membuat saya refleksi diri tentang usia, 
tentang kenyataan bahwa orang tua kita mungkin sedang kesepian
dan betapa kita tidak pernah tahu umur berapa kita di mata mereka, 
akan selalu jadi anak kecil yang tersayang.

Fona anak kelas 2 SMP itu,
yang selalu iri dengan teman-teman yang dibawakan bekal
atau dijemput pulang sekolah

tapi saya bersyukur, 
saya gak pernah takut naik transportasi umum sendiri
atau pergi ke bank
sudah hapal harga beras, telur dan ayam, 
selalu berani sendiri. 

Jadi mulai sekarang, akan memulai lagi merapal doa itu setiap sujud,
Ah, tidak ada yang paling pantas atas kebahagiaan-kebahagiaan saya selain mereka berdua, 
dan mimpi-mimpi besar saya menunggu dijemput untuk mereka berdua,

Satu malam sebelumnya, ada seorang kerabat datang bertamu, ia bercerai dengan istrinya. 
Dan selama bertahun-tahun tidak pernah diizinkan untuk bertemu anak-anaknya,
"Mungkin itu hikmahnya Teh. Mamah jadi berpikir, alhamdulillah keluarga kita utuh, teteh dedek selalu membanggakan, seharusnya Mamah Papah lebih banyak menghabiskan waktu dengan bertemu kalian. Gapapa berangkat jam 5 subuh pulang jam tujuh, yang penting kita sering ketemu."

Allah Yang Maha Membolak-balikan hati manusia, 
saya bersyukur lagi hari ini, 
semoga semuanya terwujud segera, 
rumah saya rindu berpenghuni. 

Jadi, doakan ortu saya ada rezeki pindah ke Jakarta, ya?
Aaamiiin Allahumma Aaamin.

No comments:

Post a Comment