Jangan ketawain yah.
Ini cerpen tugas Bu Nanah, sepanjang ini, saya sangsi sih ini termasuk kategori cerpen atau bukan.
Huehehe. Jangan tanya soal judul, itu judul lagu payung teduh. Anaknya emang suka males nyari judul.
Di
ruang yang dikatakan nyata ini, semuanya bersifat dinamis. Bahkan partikel
sekecil atom di tubuh pun, dalam satuan lebih kecil dari detik, bergerak,
berputar, berubah posisi. Dan kamu, tidak bisa menjadi satu-satunya yang diam
sementara dunia sekeliling mu berputar, bahkan terkadang terlalu cepat. Takdir ini cair. Manusia, sebagai produk
rekayasa semesta hanya bisa ikut terbawa arusnya. Yang seringkali melabuhkan kita di tempat
asing, tidak tahu mengapa. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, contohnya.
Dia tengah berlari kecil menutupi
kepalanya yang terguyur hujan dengan buku berjudul Catatan Seorang Demonstran itu
memang bukan orang asing lagi. Bagaimana bisa aku menganggapnya asing jika
lebih dari 6 tahun sudah hidup kami berjalan bersisian. Kami sudah lama
bernaung di almamater yang sama, sebut saja sejak zaman putih abu.
Manusia
berinteraksi karena kebutuhan bukan? Dan itu lah kami. Bicara seperlunya.
Bertindak seperlunya. Tidak ada sapaan di koridor atau sekedar melepas senyum
ketika berpapasan di lapangan parkir. Aku tidak merasa perlu dengan itu. Dan
dia adalah orang yang cukup tahu prioritas dalam hidup.
Dia tersenyum, duduk disebelah ku
kemudian memasukan buku itu ke dalam tas punggung hitam miliknya. Mengeluarkan
jaket kulit, hitam juga warnanya. Atau laki-laki memang tidak memiliki pilihan
warna lain selain hitam?
“Tentang malam keakraban fakultas
minggu depan, gimana ya?”
“Nggak usah khawatir, acaranya nggak
bakal sepi kok. Semua orang suka musik.”
Dia seorang organisator, perencana handal.
Yang disebut-sebut, pemimpin. Aku sendiri, seorang koleris. Dan kami adalah
orang-orang sibuk. Tidak pernah langsung pulang jika kelas usai. Ada saja yang
harus diurus. Entah itu pameran buku, seminar, malam keakraban atau bahkan
demonstrasi. Bagi ku, itu adalah pelarian paling mujarab. Secandu-candunya kamu
dengan sepi, kamu tidak akan memilih sendiri sepanjang hari bukan?
“Masalahnya, nggak semua orang bisa
ngorbanin waktu belajarnya. Terlebih, untuk sebuah malam keakraban. Kamu tahu
kan, resikonya apa?” ucapnya pelan, dia ragu.
Untuk acara ini, kami memang
berusaha lebih. Mengumpulkan anak-anak satu fakultas. Bodoh memang, mengingat
ujian tinggal 2 minggu lagi, tapi kami tidak punya waktu lebih lama dari ini.
Malam keakraban memang bisa diselenggarakan kapan saja, tidak mesti besok
malam. Namun, kami butuh massa untuk narasumber redaksi koran yang BEM kami
usung, radio fakultas kami pun butuh mengudara. Salah satunya, malam keakraban
itu. Dan naik cetak serta siaran tidak bisa mentolerir waktu ujian. Malam
keakraban harus berjalan minggu depan. Kami tidak punya waktu lagi.
Begini ceritanya, kami sekarang
berada di zaman dimana para hipokrit berkuasa. Penipuan massal. Media massa
yang seharusnya menjadi sumber terpercaya justru berisi ampas-ampas negara.
Kami adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, aku jurusan Sastra. Dan satu hal
yang ku tahu, Sastra adalah ekspresi jiwa. Sastra adalah cara mengungkapkan
kejujuran. Kami tidak pernah dididik untuk menipu. Dulu, aku sempat ingin masuk
politik, Ayah ku orang politik. Sebelum aku sadar politik itu pelik, sekaligus
mencekik.
Kemudian kami memiliki ide, rencana
hebat. Menawarkan kejujuran dari satu-satunya tempat yang dapat kami jamah.
Sungguh, aku merasa ternodai saat tahu bahwa kata-kata di zaman ini banyak
dimanipulasi. Kata-kata harusnya tanpa pretensi. Dan tercetuslah, redaksi koran
dan stasiun radio. Semua dijadikan satu kantor. Di gedung sayap kiri, ada
ruangan kosong, kami membeli mesin siaran sekaligus frekuensinya dari kawan SMA
jurusan Teknik di Bandung. Menara pemancar radionya terletak di atas gedung
ini. Dan ruangan kosong itu kami resmikan sebagai sekretariat. Seharusnya, satu
minggu sebelum jadwal ujian, koran kami naik cetak. Tapi kami kurang sumber
daya, kurang narasumber. Kurang dukungan. Berharap apa dari dosen-dosen itu.
Mereka takut dengan penguasa. Kami dikatakan anak kecil.
Dari 10 orang yang berjuang demi
proyek kejujuran ini, ku akui, dia pemimpin kami. Mungkin karena dia kandidat
terkuat Ketua Senat. Aku tidak peduli
tentang pesta demokrasi Senat. Itu politik lagi. Di proyek ini, aku lebih fokus
pada redaksi koran, dia lebih memilih di stasiun radio karena itu sangat rawan
dan lebih menuntut diperhatikan.
Malam
keakraban adalah salah satu cara kami menggalang massa. Di malam nanti, akan
ada yang berorasi. Aku sudah tidak tahan lagi, aku muak ditipu sana-sini.
Demonstrasi di bundaran HI pun tidak akan berbuah apa-apa. Teriakan-teriakan
ditengah terik tidak akan membawa kejujuran pada rakyat.
Dia
memecahkan lamunan ku, “Oh iya, kalau bukan karena buku ini, aku mustahil
menyusul kamu,” Dia menyodorkan buku putih, buku sakti ku. Tadi memang sengaja
ku tinggalkan di meja siaran. “rundown-nya ada yang aku ubah. Ngga apa-apa
kan?”
Aku
bangkit karena hujan memang sudah tidak sederas tadi, “Yaudah, terserah.” Dia
menyusul ku bangkit. Langkahnya menyusul pelan, menyeimbangi. Kami diam. Ya,
karena kami tidak lagi memeliki perlu satu sama lain.
Satu hal yang aku tahu dari
pertemuan kami, “Kamu memang sering ke tempat tadi kan? Bukan hanya menyusul
aku?”
“Sok
tahu.”
“Kamu
bisa mengembalikan buku itu besok, lusa atau kapanpun. Nggak mesti tadi.” Dia
tersenyum, diam-diam mengakui analisis ku. Kami berjalan ke arah lapangan
parkir.
Dia
menghentikan langkah, “Kamu pulang?” Itu pertama kalinya ia melontarkan ucapan
basa-basi. Ku gemerincingkan kunci mobil. Dan berlalu. Kemudian kami selesai.
Hari itu, pertemuan kami selesai.
***
Ruang 3x4 ini dahulunya adalah
perpustakaan kecil, entah tahun berapa berubah kosong. Di sudut ruangan sudah kami
sulap menjadi studio kecil, terpisah oleh kaca degan pintu masuk utama, di
studio itu peralatan siaran diletakan
Tatapan
ku tertuju pada setumpuk kertas, berita seminggu terakhir. Berita ini adalah
berita jujur, bukan hasil rekayasa seperti koran yang dijual di depan gerbang
kampus. “Mengurus harga beras pun belum becus, apalagi kurs” . Judul yang menarik, harga
beras Rp. 5.000/kg sekarang, ini gila. Kurs rupiah terhadap dollar berada di
kisaran 16 ribu. Semakin sejahteralah antek-antek asing itu.
Aku menyalakan mikrofon mesin
siaran, siap mengudara.
“Ya,
selamat pagi saudara sebangsa dan setanah air, menjelang pertengahan April ini
tidak banyak perubahan. Begini nasib jadi mahasiswa tahun 1998, hidup mu
dihabiskan untuk demonstrasi, kuliah hanya untuk para sampah. Suara rakyat
harus kita perdengarkan! Dan Radio Kejujuran kembali dengan berita jujur, kali
ini masih dari kursi pemerintahan. Mereka yang duduk disana, sedang berpesta
pora. Mereka yang mengurus harga beras pun belum becus, apalagi kurs. Rupiah
sekarang berada-----“
KLIK.
Mesin
siaran mati. Sambungan terputus. Dan kata-kata ku hanya menggantung di
udara. Ini tidak mungkin tidak sengaja,
listrik di ruangan ini pasti diputus paksa.
Tiba-tiba
pintu ruangan ditendang, aku terkesiap. Dia---laki-laki Kandidat Terkuat Ketua
Senat, datang dengan muka merah padam. Tangannya mengepal. Dan ketika matanya
jatuh menatap aku, tergambar jelas dia terkejut. Kemudian tatapannya langsung
beralih ke jendela studio, tempat aku duduk di belakang meja siaran. Ia
menghampiri ku.
Emosional
dan tempramental, itu sudah bukan lagu lama lagi untuk mendeskripsikan dia. Ia
seperti sumbu yang siap disulut. Jiwa kepemimpinannya memang kuat, ia adalah si
pengarah yang seringkali masih sulit mengarahkan emosinya sendiri.
Tangannya
menelaah satu persatu lembaran berita yang sudah ku susun sejak satu minggu
yang lalu, ia mengacuhkan aku. Seperti tidak menemukan apa yang dicari, ia
beralih ke loker-loker di sudut sebelah kanan ruangan, membuka satu-persatu.
Entah mencari apa.
“Aku
lagi siaran, tiba-tiba mati.” Cetus ku yang tidak tahan karena ia tidak kunjung
melihat aku. Gerakannya berhenti. Ia berbalik.
Ia
tidak menjawab atau memberi penjelasan apa-apa, malah balas berteriak,
“Harusnya disini!” kemudian ia menghempaskan tubuh di kursi kayu tempat kami
menunggu.
Aku
menghampirinya dan menutup salah satu loker, “Kamu cari apa?”
“Bukan
urusan kamu.” Jawabnya ketus. Aku melayangkan tatapan sinis. Ia hanya tertunduk
diam, menatap kosong ubin-ubin dingin tempat kami berpijak.
“Oke,
fine.” Ku jatuhkan dengan ringan setumpuk kertas berita yang ku pegang. Aku
melenggok pergi keluar dari pintu kayu yang tadi ia tendang. Sebelum akhirnya
aku sadar, tas ku masih disitu.
Aku
hanya berdiri depan pintu. Dan dia masih disitu. Duduk di kursi kayu menatap
ubin dengan tatapan kosong. Tidak berubah satu senti pun.
Aku
berdehem pelan, kepalanya terangkat.
“Aku
nggak bermaksud untuk...” kata-katanya berhenti, menggantung. Ia bangkit
menghampiri ku. Aku tidak bergeming, menunggu kata-kata selanjutnya.
Hening. Tidak ada kata-kata selanjutnya. Seolah,
ucapannya memang selesai sampai disitu. Dia berlutut kemudian memunguti
kertas-kertas berita yang tadi aku jatuhkan. Aku ikut berlutut dan memungut.
Tidak butuh waktu lama sampai kertas-kertas itu terkumpul kembali.
Setelah
menaruh kertas berita di tempat semula, aku duduk lagi di kursi kayu tadi. “Untuk meledak di depan kamu.” Ujarnya
tiba-tiba, menyambung perkataannya yang menggantung tadi. Dari nada bicaranya,
ia tampak sudah lebih tenang. Tidak ada lagi sorot amarah atau emosi. Dia sudah
kembali.
Kemudian
ia melanjutkan penjelasannya, “Ada yang memblokir frekuensi kita.”
Aku
melayangkan tatapan sejuta tanya. “Mereka berdalih kita nggak punya tanda bukti
bahwa kita sudah membeli frekuensi itu.” Lanjutnya.
“Dan
daritadi kamu mencari kwitansi pembelian sekaligus sertifikatnya?”
Itu
pertanyaan retoris. Kami membeli frekuensi ini dari salah seorang kawan SMA di
Bandung, sudah ku katakan di awal, ia adalah orang dalam RRI. Dengan berbekal
nama Ayah ku kami akhirnya memiliki koneksi langsung dengan bagian komunikasi.
Seperti selayaknya, frekuensi ini adalah barang langka yang dijual, terutama
disaat pemerintah begitu ketat mengawasi aktivitas jurnalistik sekaligus
broadcasting, mahasiswa pula yang mengelola. Kami diberi sebuah sertifikat dan
itu adalah senjata, bahwa kami membeli frekuensi ini secara legal.
Walaupun
aku tahu, di kampus ini pun dosen-dosennya tidak pernah ada yang melegalkan
kegiatan kami. Hanya mencari masalah namanya jika mendukung redaksi dan stasiun
radio buatan mahasiswa. Dimana mahasiswa adalah musuh utama pemerintah, dinilai
hanya bisa demo dan merusak fasilitas umum. Tapi kami ingin bersuara dengan
cara lain. Kebebasan pers sendiri pun amat minim sekarang. Kami benar-benar
cari mati.
“Sertifikatnya ada di tas ku. Sengaja
nggak aku simpan disini, bahaya.” Aku menunjuk tas ransel hijau tosca di
samping meja. Ia mulai beranjak dan dengan hati-hati mengambil sertifikat yang
sudah dilaminating.
“Tapi percuma....”
“Loh, kenapa?”
“Kalaupun kita memberikan sertifikat
ini, mereka masih punya satu juta alasan untuk memaksa kita berhenti mengudara.
Masalahnya bukan kelegalan frekuensi ini saja, proyek kita ini sudah ilegal.
Segini, koran kita belum naik cetak.” Ada nada mengeluh dari ucapannya. Aku
menghela nafas.
“Nggak ada perjuangan yang mudah.” Ucap
ku disertai senyum, “Aku duluan ya, sertifikatnya di kamu aja. Sekiranya memang
dibutuhkan, kasih lihat aja. Toh, itu juga bukti bahwa kita berhak mengudara.
Peduli apa dengan dosen-dosen itu.” Aku meraih ransel dan berjalan keluar.
Tanpa di duga, ia menyusul dan mengunci pintu ruangan.
Kami berjalan bersisian, namun rasanya
tidak seaneh kemarin, ada yang cair diantara kami dan semuanya mengalir berawal
dari pertanyaan basa-basinya, “Kamu suka nulis dari kapan?”
“Sejak aku dibelikan 3 dus majalah oleh
Ibu, waktu TK. Tapi sepertinya aku tidak perlu menanyakan hal yang sama ke
kamu, kamu bukan orang yang suka menulis kan?”
Ia terkekeh kecil, tebakan ku benar.
“Aku lebih unggul dalam kemampuan verbal.” Sudah ku duga, aku memiliki intuisi
bagaimana membedakan orang yang unggul dalam verbal ataupun nonverbal. Dari
karakteristiknya, pria ini bukan yang lihai berkata-kata dalam bentuk aksara,
namun lebih pada intonasi dan artikulasi. Ia orator ulung. Berpengaruh lewat
ucapan. Dia kerap kali menjadi pemimpin demonstrasi di Bundaran HI atau Gedung
MPR RI, tapi untuk menulis essay tentang Orde Baru, dia membutuhkan waktu lebih
dari seminggu, padahal topiknya sama saja dengan orasinya ketika berdemo.
Mungkin itu juga salah satu alasannya lebih fokus pada siaran radio dibanding
redaksi koran.
Dia hobi sekali bicara tidak tuntas,
“Tapi aku selalu suka dengan orang yang suka menulis.” Aku diam karena heran
dengan ucapannya, dia menyambung lagi. “Ayah ku penulis. Dia orang hebat,
tenang. ”
“Wah, Ayah kamu udah ngeluarin buku?”
Dia terkekeh kecil, tidak menjawab
pertanyaan ku dia balik bertanya, “Jam berapa sekarang?”
Aku yang melirik sekilas jam putih
pemberian Ayah yang melingkar dipergelangan tangan ku, “Jam tiga kurang lima
belas.”
“Sampai lima belas menit lagi, kamu
masih disini kan?”
Mata ku menyipit, “Memangnya kenapa?”
Tapi dia tidak menjawab.
Kami terus berjalan melewati Fakultas
Ilmu Politik, dia mengajak ku duduk di kantinnya. Aku menolak, “Nggak ah, kita
kan bukan mahasiswa disini.”
Dia menarik kursi kemudian duduk, “Ya
memang bukan.” Tangannya meraih daftar menu, mau tak mau aku ikut duduk. “Aku
ingin kamu lihat, mahasiswa yang mempelajari ilmu tertinggi di negeri ini. Kamu
tau, politik itu sebenarnya hal termudah, nggak perlu macam-macam teorinya,
karena politik nggak mengenal salah atau benar, baik atau buruk. Tapi untung
dan rugi.” Ia mengangkat tangan kemudian memesan dua porsi nasi goreng ditambah
jus jeruk untuk kami berdua. Itu keputusannya sepihak.
Kemudian ia melanjutkan ocehannya
tentang jurusan politik, dia memang seringkali sok tahu. Dia bilang mahasiswa
yang sekarang sedang mendengarkan ceramah di kelas hanya sedang mengantri dan
menunggu giliran untuk menjadi penguasa. Mereka hanya akan membuat negeri ini
semakin kotor. Ocehannya tidak berhenti, bahkan sampai piring ku bersih.
“Politik adalah parang yang paling
kotor, lumpur-lumpur kotor.” Ujarnya diujung pembicaraan kami.
“Itu Soe Hok Gie kan?”
Dia mengangguk, “Ayah ku penulis, dia
sudah banyak menerbitkan buku. Dia orang yang tenang, tapi dia terlewat nekat.
Dia sangat berani, menulis yang menurutnya benar. Sampai akhirnya datang
orang-orang itu.” Aku kira ia tidak akan melanjutkan bahasan tentang Ayahnya
yang seorang penulis, aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini menuju,
seolah ia sedang membuka tirainya di hadapan aku. “Dan sekarang aku pun nggak
tahu dia ada dimana.”
Aku terkesiap. Sudah banyak cerita
tentang orang-orang hilang. Kebanyakan karena mereka menentang pemerintah,
tidak ada yang tahu kemana hilangnya orang-orang itu, disekap, dipenjara atau yang
lebih menyedihkan, dibunuh. Tapi aku juga tidak pernah tahu, bahwa cerita orang
hilang itu akan diceritakan pada ku langsung dari mulut yang kehilangan, dari
mulut orang yang dekat dengan kehidupan ku, dari mulut seorang anak yang tidak
tahu Ayahnya berada dimana. Ku kira itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti kami
sebagai mahasiswa yang merasa bisa melakukan apa saja, ternyata tidak.
“Terus kamu udah coba cari beliau?”
“Diawal-awal aku pernah melakukan itu,
setiap hari aku telusuri tempat terakhir yang dia datangi sebelum dia tiba-tiba
diseret paksa. Saat itu dia hanya sedang membeli jagung untuk kami. Aku teror
orang-orang terdekatnya, aku selidiki kantornya, aku hubungi semua koleganya
bahkan aku mendatangi kampusnya di Yogya, hasilnya nihil. Dia tidak pernah ada
dimana-mana. Ibu ku sendiri sampai frustasi, aku pun muak, aku lelah. Aku nggak
tahu harus cari dia kemana lagi. Bahkan saat aku demo pun, aku berharap aku
ditangkap, terus dijebloskan ke tempat yang sama dengan Ayah.” Ia menarik nafas
pelan dan melanjutkan ceritanya, “Makanya pas kamu minta bantuan untuk proyek
ini, aku langsung teringat Ayah, cita-cita dia dulu adalah meneriakan
kejujuran. Kamu tahu, harapan untuk menemukan beliau itu masih ada, membakar
aku. Aku langsung setuju sama proyek ini walaupun artinya mendorong diri
sendiri ke jurang.”
Kini aku tahu, seberapa besar ia menaruh
dendam pada orang-orang itu. Aku pun tidak bisa memastikan siapa orang-orang
itu. Yang jelas, mereka adalah sebuah kerajaan besar, yang menguntit diam-diam
dan seram. Aku tahu mengapa begitu aku usulkan untuk membuat redaksi koran dan
stasiun radio, dia begitu semangat, padahal kami tidak saling mengenal dekat
saat itu. Aku meminta bantuannya karena dia adalah Kandidat Ketua Senat yang
kebetulan teman SMA ku, tidak lebih. Aku tidak pernah mengira bahwa ada kisah
yang lebih dari sekedar ingin meneriakan kejujuran, ia ingin menemukan Ayahnya.
“Sekalipun Ayah ku udah nggak ada,
setidaknya aku ingin menemukan mayatnya, kalau mayatnya pun udah nggak ada, aku
ingin melihat batu nisannya. Intinya, aku ingin tahu di tanah mana Ayah ku
sekarang, dalam kondisi apapun. Aku ingin melihat dia lagi.”
Aku tersenyum kecil, aku bukan tipe
orang yang dengan mudah memberikan kata-kata semangat, toh dia pun tidak
membutuhkan itu sekarang. Dia sudah terlalu semangat. “Aku janji akan bantu kamu.
Radio ini akan terus mengudara, koran kita pun akan terus terbit. Dan keinginan
mulia kamu pasti terlaksana. Kamu pasti bisa ketemu Ayah kamu lagi.”
Anehnya dia tidak menangis, dia tidak
terlihat sedih. Seolah cerita menyakitkan itu sudah biasa ia utarakan. “Jam
berapa sekarang?”
“Setengah 4.” Aku melirik jam tangan ku
lagi, “loh memangnya kita ngobrol selama itu ya?”
***
Hari ini, malam keakraban digelar,
sesuatu yang kami perjuangkan satu minggu terakhir. Seharian aku memastikan
semua berjalan sesuai rencana, sound system, lampu-lampu dekorasi yang kami
rangkai semalaman suntuk, makanan, alat musik, pemusik yang kami undang dengan
dana patungan dan..... podium. Karena hanya podium lah sesungguhnya yang paling
penting untuk acara ini, tidak ada yang lain. Dan oratornya adalah dia,
Kandidat Terkuat Ketua Senat. Tidak ada yang lebih mampu untuk memberikan
pengaruh sebesar itu selain dia.
Lepas maghrib, acara dimulai, namun
sampai sekarang dia, si Kandidat Terkuat Ketua Senat, belum menunjukan batang
hidungnya, padahal kami sedang sibuk. Semua orang sudah hilir mudik di
lapangan, panggung sudah ditata sedemikian rupa, kursi-kursi mulai diisi.
Byar, lampu dinyalakan, menandakan acara
ini dibuka, diam-diam aku mendengar desis kagum dari mulut teman-teman kami,
“Ternyata anak Sastra seniat ini ya.” Celetuk seorang yang duduk di barisan
Fakultas Ilmu Budaya.
Orang-orang yang duduk disini
sesungguhnya adalah orang-orang yang memiliki warnanya masing-masing namun aku
sangat yakin bahwa kami dan mereka memiliki jiwa yang sama, sama-sama rindu
kedamaian, sama-sama ingin kuliah tanpa dihantui cerita-cerita orang hilang.
Petrus, pembunuhan misterius, terdengarnya sangat menyeramkan.
Setelah dibuka oleh MC, Dekan
diperkenankan untuk memberi sepatah dua patah kata, walaupun kami mengadakan
acara ini untuk proyek ilegal, kami tahu birokrasi itu seperti apa. Kami masih
tahu tata krama. Aku tahu, para pihak Dekan sudah menutup mata tentang kegiatan
kemahasiswaan seperti ini, mereka takut. Wajar itu, aku pun takut. Semua orang
diliputi ketakutan di zaman ini. Prinsipnya, ikuti permainan mereka dan kau
akan aman.
Semua nampak biasa saja, kami harus bisa
memberikan kesan pada Dekan bahwa ini tidak lebih dari malam keakraban dimana
satu angkatan berkumpul dan bersenang-senang seperti selayaknya, beliau pun
mungkin lupa tentang ujian tengah semester satu minggu dari hari ini. Setelah
Dekan selesai memberikan sambutannya, harus ada yang menjadi pengalih perhatian
dan membawa beliau keluar dari acara ini. Saat ia baru selesai memberi salam,
aku merasa tangan ku tertarik.
“Hey, kamu mau bawa aku kemana?”
“Sini dulu, kita harus bicara.”
Ya, siapa lagi yang menarik ku kalau
bukan Kandidat Terkuat Calon Ketua Senat itu, dia membawa ku ke belakang, jauh
dari panggung, jauh dari keramaian. Aku akhirnya memaksa ia melepaskan
tarikannya, “Apa-apaan sih? Kamu kemana aja daritadi?”
Dia duduk di kursi semen, “Kamu yakin?
Aku tanya sama kamu lagi, kamu yakin? Dengan semua ini? Semuanya rencana gila
ini.”
“Kenapa juga harus ragu? Kamu sendiri,
kenapa kamu ragu?” Aku mendelik marah. Tahu kemana lagi perbincangan ini
menuju.
“Bukan aku sendiri yang ragu, semua.
Semuanya ragu sama rencana ini, Cuma kamu yang yakin, Cuma kamu yang setuju,
kamu tahu?” nada suaranya mulai meninggi, aku emosi. Ku layangkan tatapan
tajam, meminta penjelasan.
“Tapi.... tapi.... kamu kan...”
“Tadi semua kandidat ketua senat
dipanggil oleh Dekan Universitas, beberapa orang di sekretariat juga. Mereka
memperingatkan, sungguh-sungguh memperingatkan, acara malam ini tidak berbau
unsur politis apapun, tidak ada orasi, tidak ada rencana-rencana gila. Mereka
sudah bisa mencium tujuan malam keakraban ini apa. Dekan sudah tidak mau tahu
lagi, pihak universitas tidak ingin mencari masalah, mereka tidak segan
mencabut izin belajar bagi siapapun yang terlibat. Drop out.” Ia mengatur
nafas, detak jantung ku menjadi tidak menentu. Drop Out. Kata kata itu terus bergema di kepala.
Kampus kami termasuk kampus terbaik di
Indonesia, tidak mudah berada disini, aku tahu. Kampus ini bukan untuk
anak-anak malas belajar. Aku juga tahu. Yang aku tidak tahu adalah kampus ini
ternyata dikepalai oleh orang-orang penakut.
“Tolong fikirkan lagi, ah iya. Aku mau,
orator nanti jangan aku.” Kata-katanya diucapkan dengan tegas, menyulut amarah
ku.
“Kamu tuh apa-apaan sih, labil. Kita sudah
kerja keras selama ini, terus mau berhenti?”
“Bukan, bukan kaya gitu. Setidaknya
sebelum ini semua benar-benar dimulai, ini semua nggak mudah. Masa depan banyak
orang dipertaruhkan disini. Tolong kamu mengerti itu. Aku pun nggak mau ambil
resiko dengan menjadi Pemimpin Redaksi dan Stasiun.”
Aku terbelalak, ini keterlaluan.“Terus,
Ayah kamu? Cita-cita kamu?”
Suaranya menjawab parau, “Aku baru
sadar, itu konyol.”
“Kamu yang konyol! Kalau kamu nggak mau
jadi orator, nggak apa-apa. Kalau kamu terlalu pecundang untuk itu, yaudah biar
aku aja.”
“Dengar aku dulu, aku takut, firasat ku
akan ada sesuatu yang buruk terjadi kalau kamu kekeuh mempertahankan ini. Aku hanya meminta kamu untuk kuat,
dengan apapun yang terjadi nanti. Kamu bisa kuat?”
“Memangnya kamu fikir aku selemah apa?”
Sebelum dia menjawab, aku melanjutkan ucapan ku, kali ini menusuk. “Kamu nggak
tahu apa-apa tentang aku.”
Dia diam, ada jeda lama. Kemudian dia
bangkit dan meninggalkan aku, dia berjalan ke arah kerumunan. Sambutan dekan
sudah selesai sejak tadi, kini digantikan musik yang mulai
berdentum-denntum. Aku dengan emosi yang
masih menyala, berteriak, “Hey! Kita belum selesai!”
Aku mencarinya diantara kerumunan, tidak
sulit, ia memakai jaket merah yang cukup terang di saat gelap seperti ini.
Kami berdiri bersisian, “Aku cuma nggak
mau, orang lain menderita karena keinginan kecil milik aku.” Ujarnya, tanpa
menatap aku. Pandangannya tetap menuju ke arah panggung, dihadapan kami
orang-orang sedang bernyanyi sambil meloncat-loncat bahagia. “Mungkin, aku
memang bukan pemimpin yang baik.” Bisiknya parau.
Aku menoleh, sedikit menengadah karena
ia memang jauh lebih tinggi dari aku. “Kamu itu terlalu banyak mikirin orang
lain, sampai lupa diri sendiri. Dipendam terus. Makanya, kamu sering meledak
tiba-tiba.”
Akhirnya dia balas menoleh pada ku,
menghela nafas sedikit, “Yaudah. Untuk sekarang, lebih baik kamu nggak perlu
ngomong dulu sama aku. Percuma.”
Dia berbalik, pergi.
Aku langsung berlari menuju podium, aku
tidak tahu ini benar atau tidak. Dekan sudah pergi sejak band yang kami undang
mulai bermain. Aku tidak menyangka malam ini menjadi seperti ini. Disaat semua
orang tidak berbeban. Disaat semua orang, bahagia.
***
Diluar perkiraan,
daftar yang ingin bergabung dengan kami begitu banyak. Aku tidak tahu keajaiban
apa yang ada, padahal orasi ku benar-benar menjijikan saat itu. Sudah ku
katakan kan, aku bukan orang yang memiliki kemampuan verbal yang bagus.
Aku sedang duduk di sekretariat, memindahkan
data dari formulir ke komputer. Tiba-tiba dia menghampiri ku, ya dia lagi.
“Orasi kamu bagus.” Katanya dengan enteng.
Aku mendelik tajam.
“Maaf soal semalam.” Akhirnya ia mengucapkan itu. Aku hanya mengangguk.
“Untuk pemimpin redaksi
memang tidak bisa aku, akan ada spekulasi kalau itu adalah kampanye ketua
senat. Kamu mengerti kan?” Dan untuk kedua kalinya aku mengangguk, disusul
senyum tipis. Dia menggendong tasnya
lagi dan beranjak ke luar pintu, “Aku duluan.”
“Silahkan.”
Tidak lama setelah itu,
Rio dengan tergesa-gesa masuk.
“Ah kamu disini, kamu
dipanggil Dekan.” Mata ku terbelalak, ada yang tidak beres.
Dengan degup jantung yang tidak karuan, aku
menuju ruang Dekan yang terletak di utara kampus. Aku mengetuk pintunya
perlahan.
Suara dari dalam
menjawab, “Masuk.”
Aku menarik kursi di
hadapannya, tanpa basa-basi, Sang Dekan langsung bertanya, “Siapa pemimpin redaksi dan stasiun radio
fakultas kamu?”
Aku kembali teringat
bahwa dia tidak bisa menjadi pemimpin redaksi, itu akan menyulut emosi lawannya
di Kandidat Ketua Senat, kampanye gelap, ah politik lagi. Dengan berat aku
menjawab, “Saya Pak.”
Beliau menghela nafas, “Sudah saya duga. Kamu
tahu betapa bahayanya itu. Jika kalian salah menerbitkan berita, kamu tahu
seberapa besar resikonya. Ini bukan hanya menyangkut redaksi koran dan stasiun
radio fakultas kamu saja. Kamu menyalahi hirarki! Malam keakraban semalam pun
pasti ada unsur politisnya, padahal saya sudah peringkatkan pada kandidat ketua
senat. Kamu kan ketua panitia acara itu?” Aku mengangguk lemah.
Aku pucat pasi. Kini,
aku benar-benar sudah masuk ke dalam jurang.
“Sudah terlalu banyak
kesalahan kamu. Untuk itu, kami sepakat untuk mengeluarkan surat ini.” Beliau
menandatangani secarik kertas, kemudian menyodorkannya ke hadapan ku. Kertas
itu. Dengan kop universitas. Izin belajar ku ditahan, bahasa anak SMA-nya
skors. Aku dilarang mengikuti Ujian Tengah Semester. Keputusan drop out dilihat
dari kelakuan ku, jika aku berbuat yang aneh-aneh. Status mahasiswa ku di
cabut. Aku tidak tahu apakah universitas ini pernah memberikan pembekuan izin
sebelumnya atau tidak. Untuk sesaat, nafas ku berhenti. Ayah pasti akan marah
besar, aku terancam tidak lulus tahun ini, padahal satu semester lagi dan aku
akan memulai skripsi.
Sebenarnya masih banyak
yang ingin aku tanyakan pada Dekan, seperti apakah hanya aku saja yang menerima
skors ini atau apakah stasiun dan redaksi kami masih bisa berdiri, banyak.
Namun lidah ku kelu. Aku menatap nanar kertas di genggaman ku.
Dan akhirnya, aku
memilih keluar. “Terimakasih banyak Pak, Permisi.”
Aku sudah menyusun apa saja yang akan
aku lakukan semester kedepan. Aku berjanji pada Ayah lulus tahun ini,
melanjutkan studi di Inggris seperti yang selalu Ayah inginkan. Rasanya semua
mimpi-mimpi ku pupus. Dan di tangga menuju lantai satu, aku jatuh. Menangis. Mendekap
erat-erat lutut ku. Aku sendiri. Aku tidak peduli. Kemudian aku ingat, tas ku
masih di sekretariat. Aku ingin pulang.
Sepanjang koridor, air
mata ku mengucur tanpa tertahan. Aku
takut, firasat ku akan ada sesuatu yang buruk terjadi kalau kamu kekeuh
mempertahankan ini. Kalimat itu berdentum-dentum di kepala ku, seperti
irama musik saat ia mengatakannya. Dan aku sampai di depan pintu. Dia disana,
sedang duduk di depan komputer.
Satu tanya yang
merubuhkan aku. “Gapapa?”
“Gapapa apa?”
“Kamu. Kamu gapapa?”
Kemudian aku meledak.
Kencang. “Firasat kamu benar. Dan hal buruk itu terjadinya sama aku.
Hahahahahahaha.....” Tawa diakhir itu terasa hambar. Dia menghela nafas.
Dan aku langsung
dikerubungi oleh lebih dari 5 orang, semua mengatakan hal sama. Hal-hal klise
yang dikatakan saat kamu menangis. Semangat.
Sabar ya. Semua akan indah pada waktunya. Pasti ada jalan keluarnya. Sungguh,
aku tidak butuh kata-kata seperti itu. Dan dia keluar dari lingkaran yang
mengerubungi ku.
Tiba-tiba, dia kembali
lagi, “Eh, gue butuh ke percetakan.” Dia menarik tangan ku, keluar dari kerubungan.
“Temenin yuk?”Aku langsung mengangguk. Dia ingin membawa aku kabur.
“Tapi janji jangan nangis.” Aku mengacungkan
dua jari.
Kami berangkat ke
percetakan, cukup jauh dari kampus. Dia tahu aku butuh lari. Dia tahu aku tidak
nyaman dikerubungi seperti tadi. Dia tahu, kalau aku hanya butuh dia saat ini.
Di percetakan aku
menepati janji ku untuk tidak menangis, dan dia tidak menceramahi ku apa-apa,
dia hanya diam dan mendengar. Tidak ada kata semangat, sabar, dan hal-hal klise
lain. Kemudian aku berbagi, bagaimana sesungguhnya Ayah tidak pernah setuju aku
kuliah di Indonesia, terlebih jurusan sastra. Janji-janji ku pada beliau.
Mimpi-mimpi ku. Semua hal yang tidak pernah aku ceritakan, pada siapapun
sebelumnya.
Setelah hasil cetakan
keluar, kami kembali ke kampus, sekretariat kosong. Kami memutuskan kembali ke
parkiran. Cerita kami ditutup dengan celetukan iseng, “Lain kali jangan nangis
lagi ya.” Aku mengernyit, “Kamu jelek banget. Sumpah.” Dan dia menirukan aku
menangis. Lebih jelek berjuta kali lipat. Lalu kami tertawa.
Tawanya berhenti, “Kamu
nggak bisa pulang sendiri dengan kondisi sangat jelek kaya gini. Rumah mu
dimana?” Aku terkesiap.
“Aku bawa mobil kok.”
Aku tidak ingin dia mengantar sampai rumah, Ayah pasti tidak suka. Ayah tidak
pernah suka anaknya merepotkan orang lain, ia selalu mendidik ku untuk mandiri,
memberikan beragam fasilitas. Ayah pasti marah, ditambah dengan surat pembekuan
izin kuliah itu. Aku takut.
“Mobil mu tinggal di
penitipan 24 jam, kamu belum stabil, banyak demonstrasi dimana-mana sekarang.
Kamu nggak bisa pulang sendiri. Rumah mu dimana?” Aku tahu itu, demonstrasi
yang semakin lama semakin anarkis. Dan aku masih bisa meledak kapan saja.
“Daerah Senayan.” Kata
ku pelan, ia mengangguk, lalu aku langsung masuk ke mobilnya dan tertidur.
***
Ketika aku membuka
mata, mobil sudah berhenti. Yang jelas berhentinya bukan di depan rumah ku.
Tapi di gedung hijau kura-kura, dengan gerbangnya yang megah. Semua orang di
negeri ini pasti tau, Gedung MPR dan DPR. “Akhirnya bangun juga. Dari sini
kemana?” pertanyaannya menyadarkan lamunan ku. Tangan kanan ku menunjuk jalan
disebelah gedung DPR ini.
Dia memutar stir, kemudian tersadar
akan sesuatu, “Kamu tinggal di kompleks perumahan anggota Dewan?” Ini yang aku
takutkan, ini yang membuat aku tidak mau diantar pulang. Aku tidak mau dia tahu
siapa aku.
“Belokan pertama ke kanan. Rumah ku
nomor 3 darisitu.” Ia pun menurut. Dan kami sampai di rumah ku, gerbangnya dari
lantai marmer. Tanpa basa basi atau mengajaknya masuk, aku langsung mengangkat
tas dan membuka pintu. Kaca mobilnya turun, aku hanya berterimakasih pelan. Ia
masih melayangkan tatapan heran dan meminta penjelasan. Aku langsung masuk ke
dalam rumah.
Di dalam, Ayah sudah
menunggu, seperti yang biasa ia lakukan. “Kamu berbuat ulah apa lagi di kampus?
Dekan mu menelpon Ayah. Memalukan.” Aku gusar. “Sudah Ayah bilang, kamu jangan
masuk Sastra, otak mu itu jadi aneh kan. Harusnya kamu masuk politik, agar
wawasan mu itu luas.”
Aku bangkit dari sofa
dan hendak menuju kamar, “Yah, udahlah aku capek, mau istirahat.”
“Izin belajar mu sudah Ayah cairkan, kamu
masih bisa ikut ujian, kehidupan akademis mu tidak terganggu.” Jelas Ayah, aku
yang sudah hendak menaiki tangga, langsung berbalik dan memeluknya. Ayah tidak
menolak, namun tidak juga membalas, ia malah berkata, “Itulah keuntungan menjadi orang politik, kau
bisa mempengaruhi orang lain dengan mudah.”
Aku tidak peduli dengan
ocehan Ayah soal harusnya aku masuk jurusan politik. Yang aku pedulikan adalah
Ayah sudah menjadi pahlawan ku.
“Ada syaratnya. Kamu
harus berhenti dari redaksi radio itu. Kamu harus membuat surat pengunduran
diri. Atau kamu Ayah pindahkan ke luar negeri. Indonesia sudah tidak aman
terutama untuk mahasiswa. Yang ada kamu hanya akan menjadi ampas-ampas yang
berdemo di depan kantor Ayah.”
Aku melepaskan
pelukanku, melayangkan tatapan heran pada Ayah. “Tapi... aku kan..”
“Keluar dari stasiun
radio itu atau kamu Ayah keluarkan dari kampus.” Kemudian Ayah berlalu ke ruang
kerjanya, ruangan megah tempat Ayah menghabiskan separuh hidupnya. Tempat yang
selalu membuat Ayah menjadi berbeda dari ayah-ayah teman ku yang lain.
Ternyata masih banyak
yang belum aku ceritakan, sejujurnya aku tidak pernah ingin menceritakan ini.
Bahwa Ayah ku adalah anggota parlemen. Ia adalah salah bagian dari mereka yang
selalu disebut-sebut hipokrit. Yang kantornya di demo setiap hari. Ayah ku
adalah salah satu dari orang-orang itu. Ayah ku seorang DPR. Pejabat,
Pemerintah. Musuh rakyat nomor satu di zaman ini. Kaki tangan Presiden. Yang
selalu bangga dengan karir politiknya. Dan aku, anak seorang politikus yang
amat membenci politik. Karena politiklah yang membuat Ayah ku berubah. Politik
menjadikan Ayah ku berbeda.
***
Aku tidak bisa memilih
keputusan lain. Selepas kelas terakhir, aku berjalan menuju sekretariat dengan mata
bengkak. Surat pengunduran diri sudah diletakan di dalam map biru yang sekarang
ada di genggamanku. Ayah sendiri yang membuat itu, sekaligus surat permohonan
maaf kepada pihak universitas. Aku hanya tinggal menandatanganinya. Surat untuk
universitas sudah ku serahkan tadi pagi, Dekan menyambutnya dengan senyum yang
sangat manis. Saking manisnya hingga aku ingin muntah.
Aku sudah beratus-ratu kali
menapaki lorong-lorong ini, namun tidak pernah sesunyi ini rasanya. Seolah
dinding-dinding bisu ikut bicara, bagaimana bodohnya aku sekarang, dengan
secarik kertas yang sesungguhnya bisa ku robek kapan saja, tapi nyatanya justru
kertas ini yang merobek-robek aku. Aku dihancurkan oleh benda paling mudah
hancur seperti kertas. Bahkan cicak yang
bersembunyi pun tahu, betapa rapuhnya aku. Menyedihkan. Langkah ku terasa begitu berat, terutama
setelah pintu kayu yang sudah ku masuki entah untuk keberapa kalinya itu
semakin terlihat. Dan dengan sisa-sisa keberanian ku, ku ayunkan daun pintunya.
Di dalam, ternyata ada
10 orang sedang sibuk bercanda sambil mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada
yang di depan komputer, di dalam studio siaran ah iya aku hampir lupa hari ini
jadwal kami mengudara dan beruntungnya kali ini tanpa hambatan apapun, dan ada
yang memegang satu bundel koran. Di sebelah komputer, ada setumpuk kertas yang
sama. Aku mematung di depan pintu. Mereka semua terlihat amat bahagia.
“Kok diam aja? Lihat
deh, korannya udah jadi! Akhirnya, perjuangan kita tidak sia-sia, beberapa udah
mulai disebar dan responnya positif semua. Semua senang sama koran kita. Kamu
memang Pemimpin Redaksi yang hebat.” Ujarnya riang, sungguh jika ada deskripsi
sempurna dari sebuah kebahagiaan, maka itulah yang terpancar dari wajah-wajah
mereka.
Dia lagi, lagi dan
terus lagi. Aku pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di bumi ini terus
bergerak, takdir sendiri pun adalah benda cair yang kodratnya mengalir.
Sekalipun hidup kami selalu bersisian lebih dari 6 tahun, aku tidak pernah
menyangka kami melangkah sejauh ini. Semuanya bergerak, berjalan. Dan terasa
asing.
Ada banyak
pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini. Mengapa
hidup berputar lebih cepat dari rencana yang telah kita buat masing-masing. Aku
merasa terlempar pada sebuah fase yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Semuanya
berubah menjadi rumit.Ternyata selama ini kita berjalan di sebuah jalan yang
ternyata sama sekali bukan kuasa kita. Ada yang Maha Kuasa, atas segala.
Sungguh aku tidak ingin menghancurkan
kebahagiaan mereka untuk detik ini. Namun akhirnya ku lakukan juga, “Aku mau
resign. Selamat dan semangat.” Ku sodorkan map itu. Sontak semua orang langsung
menoleh pada ku, menatap tajam. Ruangan seketika sunyi.
Sudah. Cukup. Urusan ku selesai. Aku langsung
lari keluar, tidak peduli siapapun yang memanggil ku. Benang hidup ku semakin
kusut akhir-akhir ini. Aku langsung terjatuh di koridor. Menangis.
Saat aku mengangkat
kepala, sudah ada sesosok laki-laki di hadapan ku. Tidak perlu bertanya siapa, dia.
Dia pun berubah,
percakapan kami berubah, aku baru sadar percakapan kami berubah menjadi yang
penuh basa-basi dan tidak seperti sebelumnya, “Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa kamu memutuskan
pergi disaat harapan itu ada? Kenapa kamu malah memilih lari? Kamu sendiri yang
bilang, tentang keberanian karena kita berjuang untuk kejujuran. Kamu orang
yang paling berani yang aku tau. Kenapa kamu malah seperti ini? Resign. Konyol
tau gak, bercanda mu nggak lucu.”
“Aku nggak bercanda.
Aku nggak bisa lanjut lagi. Percuma.”
Ia sudah tidak ada di
hadapan ku lagi, kali ini ia memilih duduk di sampingku. “Yaudah, coba kamu
cerita. Aku siap dengerin.”
“Nggak ada yang bisa
diceritain. Udah sana, urusin korannya lagi. Aku titip sama kamu ya.”
Matanya terlihat gusar,
“Kamu kenapa sih, apa susahnya cerita, sama aku doang kok.”
“Gak bisa. Intinya,
aku, kamu, redaksi, stasiun, semua selesai. Aku butuh fokus sama skripsi.” Aku
tahu dia marah, ketika dia mengizinkan aku masuk ke dunianya, tapi aku tidak
mau membuka pintu untuk dia agar masuk ke dalam dunia ku. Aku tahu itu tidak
adil. Keadilan apa yang tersisa di zaman sekarang?
Ia melayangkan tatapan
begitu tajam, “Mestinya kamu kuat, aku hanya minta kamu untuk kuat. Nggak ada
perjuangan yang mudah kan? Kalau kamu memang butuh tempat, ya kamu cerita.” Aku
menggeleng kuat, aku tidak ingin meledak lagi, terutama di hadapan dia.
“Apa arti seorang
pemimpin kalau dia aja nggak bisa berpengaruh. Bahkan kamu aja nggak mau cerita
sama aku. Banyak yang nggak kamu ceritain ke aku, akhirnya begini kan.”
“Kamu tuh berpengaruh
sama redaksi ini, stasiun ini, SENAT, universitas, jangan sama aku lah.”
Dia tampak lelah dengan
semua bantahan-bantahan ku, “Yaudahlah, intinya aku masih sangat menginginkan
kamu untuk tetap disini, karena aku butuh, bukan cuma formalitas tapi karena
benar-benar butuh. Aku butuh kamu untuk menguatkan kita, redaksi dan stasiun
itu butuh kamu.”
“Aku nggak bisa menguatkan, karena
nyatanya aku pun belum kuat.”
Dia terkekeh kecil,
“Aku nggak kenal kamu yang ini.”
Aku balas tersenyum
tipis, “Atau kamu memang tidak pernah mengenal aku?”
Hati ku berkecamuk, dia
bukan siapa-siapa dan tidak pernah menjadi siapa-siapa. Kami hanya sedang
tersesat, ini semua hanya karena takdir kami sedang beririsan, semua ini pasti
akan berakhir dan kami akan kembali berjauhan. Karena sesungguhnya kami memang
tidak pernah saling mengenal. Dia tidak pernah tahu apa-apa tentang aku. Tidak
akan pernah.
“Pantes, aku Cuma kenal
kamu yang bertopeng. Kamu yang kuat, super, berani, yang selalu menjadi tempat.
Semuanya ternyata topeng. Dan jujur aku kecewa sama topeng-topeng kamu.”
“Percayalah, semua
orang di dunia ini memakai topeng. Bahkan termasuk kamu. Bahkan sampai kamu
sendiri tidak tahu, mana diri mu yang asli dan mana yang topeng. Tahu kenapa?
Karena mungkin terlalu banyak.”
Dia marah, aku tahu
itu, matanya mulai menyala dengan hebat. “Percuma ya aku disini? Aku kira kamu
tempat terbaik untuk aku meminta nasihat. Hahahahahahahahahaha nanti aku sendirian,
nggak punya tempat cerita lagi, nggak akan ada nasihat-nasihat lagi. Yaudah,
pilihan ada di tangan kamu, silahkan pilih aja keputusan yang kamu mau.” Di
ujung katanya ia menyelipkan senyum tipis.
Aku mematung, sebelum sempat berkata-kata.
Dia lanjut bicara,
“Maafkan bocah ini ya, dia hanya ingin mencari teman untuk berjuang. Perjalanan
ini bukan perjalanan sendirian.”
Nafas ku semakin berat,
semua terasa semakin berat dengan ucapannya. Ia menambah beban ku berjuta kali
lipat, dengan menahan tangis, aku menjawab, “Cari teman lain sana.”
Dia menelengkan
kepalanya pada ku. Kemudian tertawa, tawa hambar yang dipaksakan. “Waw,
terimakasih atas sarannya. Itu sangat membantu aku.” Mulut itu, yang menjadi
lebih sering bercerita banyak kepada ku akhir-akhir ini, berkata begitu
menusuk.
Aku sudah tidak kuat,
percakapan ini hanya akan saling memanas dan membakar kami. Aku tidak ingin
terbakar. “Aku terlalu rumit untuk menjadi teman perjalanan mu.” Ku ucapkan
penuh ketegasan. Kemudian aku berdiri dan lari.
Dia tidak menyusul ku,
menahan ku, atau menyuruh ku untuk tetap di tempat. Dia tidak melakukan
apa-apa. Dia hanya berteriak, “Kamu juga nggak pernah cerita kamu adalah
seorang anak Anggota Dewan. Dasar penipu.”
Kata-katanya itu
diteriakan oleh dinding-dinding koridor, sel-sel otak ku, suara-suara dalam
tubuh ku. Dasar penipu. Dasar penipu.
Inilah alasan ku aku tidak pernah membuka tirai pada siapapun, dunia ku terlalu
mengerikan, dunia ku terjal penuh liku, banyak jurang, banyak badai, sering
hujan sering gersang. Untuk itu aku membuat dinding dimana dunia ku memiliki
sekat yang membuat siapapun tidak bisa melanjutkan perjalanan masuk ke dalam
sini.
Ada banyak dunia yang
jauh lebih baik untuk di selami olehnya dibanding dunia ku. Aku bukan penganut
Hukum Newton III, dia boleh cerita apapun kepada ku bahkan cerita-cerita yang
tersembunyi dari mata dunia, aku tidak keberatan. Tapi itu tidak serta merta
membuat aku harus cerita hal yang sama. Aku tidak bisa berbagi apa-apa yang
memang seharusnya tidak dibagi.
Aku terlalu rapuh untuk
itu. Dan sekarang, aku kembali duduk di dalam dunia yang luas seorang diri. Di
kelilingi badai.
***
Sudah dua minggu sejak
kejadian itu, aku belajar melepaskan, aku belajar hidup dalam kesendirian yang
ternyata begitu meresahkan, aku belajar mengosongkan diri dari apapun yang
memenuhi, hingga setiap ruang dalam hati terasa lebih lapang dari biasanya.
Lalu pelan-pelan aku mengisinya dengan lebih tertata, semoga yang ini lebih
bijaksana. Dengan kehidupan akademis, mimpi-mimpi besar yang sebenarnya milik
Ayah, bukan milik ku.
Sejak aku lebih sering
menyibukan diri belajar di rumah, sikap Ayah mulai melunak kepada ku, sekarang
sebelum beliau pergi ke gedung singgasananya, beliau menyempatkan diri
mengantarku ke kampus. Hari ini tanggal 10 Mei 1998. Demonstrasi makin pecah
dimana-mana. Rupiah jatuh ke dasar jurang. Harga-harga makin melambung tinggi
tak terjamah. Pengangguran merajalela. Presiden Soeharto dituntut turun oleh
mahasiswa di seluruh penjuru Nusantara di halaman Gedung Nusantara. Rakyat pun
turut muak. Pemilu bulan April kemarin itu tidak sah, demokrasi dinodai.
Aku tahu satu minggu
terakhir sedang gencar-gencarnya ormas Gerakan Mahasiswa Indonesia. Terutama
mahasiswa Jakarta, pemimpinnya dari Universitas Trisakti, 2 hari lalu ia datang
bertemu dengan para Kandidat Ketua Senat. Radio Kejujuran itu terus menerus
siaran tentang GMI 1998. Aku merasa terpanggil, ini adalah cita-cita ku. Namun
masalahnya, Ayah. Ayah terus menerus memonitor semua pergerakan ku. Ayah paling
benci membicarakan mahasiswa Indonesia.
“Mereka itu hanya bisa
teriak-teriak, hanya bisa merusak!” Aku hanya bisa diam setiap Ayah menggerutu
seperti itu. Namun hari ini, Ayah berbeda. Tidak biasanya ia membicarakan
aktivitas ku di kampus, aktivitas kemahasiswaan, organisasi dan hal-hal semacam
itu, Ayah biasanya hanya menganggap aku sebagai seorang anak yang harus lulus
dengan cum laude tahun ini, dan aku
harus pergi dari Indonesia, secepatnya.
“Coba ceritakan pada
Ayah soal GMI.” Ujarnya saat kami melewati kawasan Semanggi. Aku menoleh ke
arahnya melayangkan tatapan heran. “Kawan Ayah ramai membicarakan itu, Ayah
ngga mau kamu terlibat. Bahayanya besar.”
“Kapan juga Ayah
mengizinkan aku.”
“Ayah ini orang
politik, Ayah tau bagaimana busuknya parlemen, tapi Ayah bisa apa? Ayah hanya
bisa melindungi kamu. Ayah melarang kamu menjadi aktivis dan ikut demonstrasi
karena itu satu-satunya cara Ayah melindungi kamu.” Tuturnya jujur, tapi beliau
tidak menatap aku. Kami memilih jalan memutar, demonstrasi lagi. “Tolong kasih
tahu teman-teman kamu, rencana mahasiswa demo 12 Mei sudah terdengar aparat.
Aparat tidak pernah setuju aksi damai, tidak ada kata damai di mata aparat.
Demonstrasi dimana-mana tidak ada damainya sama sekali. Polri dan militer sudah
mempersiapkan blokade di Gedung Nusantara.”
Aku hanya diam
menanggapi penjelasan Ayah, sebelumnya ia tidak pernah sejujur ini. Ia tidak
pernah membawa aparat, demonstrasi, militer dan mahasiswa ke dalam mobil kami.
Itu adalah hal tabu bagi pembicaraan kami. “Tolong Ayah, Ayah tidak ingin
teman-teman kamu kenapa-kenapa. Ayah tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua
yang melepas anaknya ke jalanan tanpa tahu anaknya akan pulang atau tidak.
Demonstrasi 12 Mei itu pasti akan berujung tragedi. Percaya pada Ayah. Ingatkan
teman-teman kamu.”
Sebelum aku berbicara
banyak hal, mobil sudah memasuki pelataran kampus ku. Aku langsung menghambur
memeluk Ayah, disitu aku tahu, Ayah tidak sejahat yang aku bayangkan.
***
Rasanya asing aku
melangkah ke koridor ini lagi, sejak pertengkaran kami waktu itu, aku dan dia
tidak pernah bicara banyak, aku hanya tahu kabar tentang stasiun dan redaksi
dari siaran mereka. Dia tidak pernah bercerita apapun pada ku lagi. Seketika,
aku merasa tertinggal.
Di sekretariat,
Kandidat Ketua Senat berkumpul, ada 4 orang yang nampaknya asing,
“Hai.” Aku melambaikan
tangan kikuk, mereka membalas senyum ku. Belum sempat aku bicara apa-apa, dia
menarik ku keluar ruangan. Aku tidak terima, “Apaan sih!”
“Ngapain kamu disini?”
“Sejak kapan juga aku
ga boleh kesini?”
Dia berdecak, “Jangan
meracau. Orang-orang yang ada di dalam sedang rapat penting.”
“Justru itu, justru itu
aku datang. Aku minta kalian berhenti dari omong kosong itu. Aparat sudah tahu
rencana kalian dan mau berapa kali pun kalian mendeklrasikan aksi damai. Tidak
ada damai di mata aparat sampai kalian tunduk sama penguasa.” Tutur ku dengan
nafas naik turun. “Aku harus masuk!” Ku lepaskan pegangan tangannya di lengan
ku.
“Kamu itu siapa? Kamu
bukan aktivis kampus. Kamu bukan Kandidat Ketua Senat, kamu hanya mahasiswa
yang mementingkan akademis kan? Kamu fikir mereka percaya dengan omong kosong
kamu?” ia membalas dengan kata-kata pedas. Aku terbelalak.
“Kamu...”
Ia berkata sinis. “Oh
iya, aku lupa. Kamu seorang anak DPR. Kamu nggak senang kalau kantor Ayah mu
diserang, kan?” Aku membisu.
“Kamu bisa ikut terjun,
kamu bisa menyampaikan aspirasi kamu, cita-cita kamu, kamu bisa melawan
kelaliman ini kan?!” Dia mengguncangkan tubuh ku. “Aku tahu siapa kamu.”
“Terus, kalau kamu udah
tahu, kamu merasa ngerti? Jangan sok tahu tentang hidup orang lain.” Desis ku.
Rahangnya mengeras. “Aku disini Cuma mau mengingatkan kamu, kalian boleh merasa
superior dengan jiwa muda kalian, dengan semangat kalian tapi yang kalian
hadapi itu aparat keparat, mereka satu juta kali lebih licin dari kalian.
Kalaupun aku nggak bisa menahan mereka yang ada didalam, setidaknya aku bisa
mengingatkan kamu. Semuanya hanya akan berbuah luka. Pikirkan Ayah kamu juga.”
“Justru aku disini,
untuk membalaskan dendam Ayah ku.”
“Semua yang berawal
dari dendam, hanya akan berakhir dengan kejam.” Aku menatapnya nanar, “Kamu
sendiri kan yang mengutip dari Soe Hok Gie, politik
adalah parang yang paling kotor, lumpur-lumpur kotor.”
“Kutipan itu belum
selesai, tetapi suatu saat dimana kita
tidak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah.”
“Tapi...”
“Egois mu udah
keterlaluan. Jangan hanya karena kamu nggak bisa menuntaskan ambisi kamu, kamu
melarang aku dan orang-orang di dalam untuk berhenti. Silahkan pergi, silahkan
lari dan jangan harap aku akan mencari.” Dia mengibaskan tangannya meminta ku
pergi. “Ternyata aku ketinggian menilai kamu.”
Aku menghela nafas,
menahan air yang sudah menggenang di pelupuk. “Yaudah, aku titipkan cita-cita
aku sama kamu dan orang-orang di dalam. Aku Cuma minta kamu hati-hati terus
ya.”
Mungkin, aku memang
tidak pernah menjadi siapa-siapa. Sungguh, aku masih sangat ingin dia ada
disini, dia tidak pergi kemana-mana. Mengobati sepi yang tidak bisa ditawar
lagi kesepiannya.
Rasa khawatir ku lebih
besar dari ambisi ku.
Kemudian aku berbalik,
pergi.
Demonstrasi itu pecah
hari ini, 12 Mei 1998. Gerakan Mahasiswa Indonesia hari ini melangsungkan aksi,
di dominasi oleh Universitas Trisakti, pemimpin demonstrasi itu orang-orang
yang dua hari lalu ada di sekretariat, omongan ku dengan dia kemarin tidak
berbuah apa-apa. Tidak berpengaruh apa-apa, mereka tetap turun ke jalan, dia
tetap pergi. Ayah meminta aku tetap di rumah hari ini. Tidak ada tapi atau
negosiasi lagi, terlalu bahaya. Aku hanya melihat apa yang terjadi dari kaca
televisi.
Mahasiswa memulai aksi
yang mereka sebut damai menuju gedung DPR sekitar pukul 12.30 tidak lama dari
itu, benar kata Ayah, militer dan polri memblokade jalan mereka menuju Gedung
Nusantara. Tuntutan mahasiswa saat itu adalah reformasi. Presiden Soeharto
harus turun dari tahta yang sudah ia diami selama 32 tahun, mahasiswa pun
menuntut peghapusan dwi fungsi TNI/POLRI karena aparat di zaman sekarang
tingkahnya semakin mengkhawatirkan.
Mahasiswa tidak terima
dikekang aparat, mereka mencoba bernegosiasi, benar kata Ayah pula, tidak ada
aksi damai dalam demonstrasi. Aparat menolak tuntutan mahasiswa untuk berdemo
di depan Gedung Nusantara.
Kemudian, hujan peluru
itu menghantam mereka. Gas air mata dilempar disana-sini.
Rusuh. Negeri ini
suasananya mencekam. Semua orang menutup pintu mereka rapat-rapat. Ayah benar untuk
yang ketiga kalinya, hari ini hanya akan melahirkan tragedi.
Tragedi Trisakti.
Itulah nama hari ini. 12 Mei 1998, menghantarkan 4 orang Pahlawan Reformasi.
Aku menyaksikan
semuanya dari layar televisi, aku hampir gila, meraung-raung. Ayah melihat itu.
Aku masih belum tahu bagaimana nasib teman-teman ku.
Sampai akhirnya telepon
itu datang.
“Dia tertembak matanya.”
Dan tonggak yang
menopang dunia ku, runtuh seketika.
***
Aku tidak peduli Ibu
menahan aku untuk tidak pergi. Aku langsung menuju rumah sakit tempat para
korban diungsikan. Berlari menembus orang-orang yang masih rusuh, darah
dimana-mana. Dan aku hanya ingin bertemu dia.
Dan disana dia,
tergeletak bersimbah darah. Aku meringis, pedih rasanya.
“Rel.... Farrel...”
mungkin, itu kali pertama aku langsung memanggil namanya.
Aku harap-harap cemas, tangannya
menggapai-gapai udara, kosong, lalu bibirnya bergerak, ia tahu ada aku, “Ka...ka..ka...mu...si..a..pa....”
Matanya tertembak, oleh
dokter ia divonis buta permanen. Bahkan, dia tidak tahu aku siapa. Rasanya
terlalu menyayat hati.
“Aku Marsha. Farel, mari
kita saling bercerita. Seperti yang dulu sering kita lakukan. Aku janji,
sekarang aku akan cerita sama kamu, semuanya. Semua tentang aku, apapun itu,
apapun yang kamu tanya ke aku. Semuanya Rel, semuanya.”
Dia memang buta, tapi
telinganya masih berfungsi dengan baik.
Sore itu, dia menjawab
semuanya. Dia masih baik-baik saja.
Dia tersenyum, tipis.
Dan itu sudah lebih dari cukup. Sangat cukup untuk ku.
Asal dia masih bicara
dan mendengar, asal dia masih bisa bercerita pada ku.
***
Mari
bercerita, seperti yang biasa kau lakukan di tengah perbincangan kita.
Sesungguhnya
berbicara dengan mu, tentang segala hal yang bukan tentang kita.
Selalu
bisa membuat semuanya lebih bersahaja.
No comments:
Post a Comment