11/07/2015

Cerpen; Mari Bercerita.

Di post demi memuaskan ego pribadi. Semoga jadi pengingat untuk terus menulis lagi.
Jangan ketawain yah. 
Ini cerpen tugas Bu Nanah, sepanjang ini, saya sangsi sih ini termasuk kategori cerpen atau bukan. 
Huehehe. Jangan tanya soal judul, itu judul lagu payung teduh. Anaknya emang suka males nyari judul. 



                Di ruang yang dikatakan nyata ini, semuanya bersifat dinamis. Bahkan partikel sekecil atom di tubuh pun, dalam satuan lebih kecil dari detik, bergerak, berputar, berubah posisi. Dan kamu, tidak bisa menjadi satu-satunya yang diam sementara dunia sekeliling mu berputar, bahkan terkadang terlalu cepat.  Takdir ini cair. Manusia, sebagai produk rekayasa semesta hanya bisa ikut terbawa arusnya.  Yang seringkali melabuhkan kita di tempat asing, tidak tahu mengapa. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, contohnya.
            Dia tengah berlari kecil menutupi kepalanya yang terguyur hujan dengan buku berjudul Catatan Seorang Demonstran itu memang bukan orang asing lagi. Bagaimana bisa aku menganggapnya asing jika lebih dari 6 tahun sudah hidup kami berjalan bersisian. Kami sudah lama bernaung di almamater yang sama, sebut saja sejak zaman putih abu.
Manusia berinteraksi karena kebutuhan bukan? Dan itu lah kami. Bicara seperlunya. Bertindak seperlunya. Tidak ada sapaan di koridor atau sekedar melepas senyum ketika berpapasan di lapangan parkir. Aku tidak merasa perlu dengan itu. Dan dia adalah orang yang cukup tahu prioritas dalam hidup. 
            Dia tersenyum, duduk disebelah ku kemudian memasukan buku itu ke dalam tas punggung hitam miliknya. Mengeluarkan jaket kulit, hitam juga warnanya. Atau laki-laki memang tidak memiliki pilihan warna lain selain hitam?
            “Tentang malam keakraban fakultas minggu depan, gimana ya?”
            “Nggak usah khawatir, acaranya nggak bakal sepi kok. Semua orang suka musik.”
            Dia seorang organisator, perencana handal. Yang disebut-sebut, pemimpin. Aku sendiri, seorang koleris. Dan kami adalah orang-orang sibuk. Tidak pernah langsung pulang jika kelas usai. Ada saja yang harus diurus. Entah itu pameran buku, seminar, malam keakraban atau bahkan demonstrasi. Bagi ku, itu adalah pelarian paling mujarab. Secandu-candunya kamu dengan sepi, kamu tidak akan memilih sendiri sepanjang hari bukan?
            “Masalahnya, nggak semua orang bisa ngorbanin waktu belajarnya. Terlebih, untuk sebuah malam keakraban. Kamu tahu kan, resikonya apa?” ucapnya pelan, dia ragu.
            Untuk acara ini, kami memang berusaha lebih. Mengumpulkan anak-anak satu fakultas. Bodoh memang, mengingat ujian tinggal 2 minggu lagi, tapi kami tidak punya waktu lebih lama dari ini. Malam keakraban memang bisa diselenggarakan kapan saja, tidak mesti besok malam. Namun, kami butuh massa untuk narasumber redaksi koran yang BEM kami usung, radio fakultas kami pun butuh mengudara. Salah satunya, malam keakraban itu. Dan naik cetak serta siaran tidak bisa mentolerir waktu ujian. Malam keakraban harus berjalan minggu depan. Kami tidak punya waktu lagi.
            Begini ceritanya, kami sekarang berada di zaman dimana para hipokrit berkuasa. Penipuan massal. Media massa yang seharusnya menjadi sumber terpercaya justru berisi ampas-ampas negara. Kami adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, aku jurusan Sastra. Dan satu hal yang ku tahu, Sastra adalah ekspresi jiwa. Sastra adalah cara mengungkapkan kejujuran. Kami tidak pernah dididik untuk menipu. Dulu, aku sempat ingin masuk politik, Ayah ku orang politik. Sebelum aku sadar politik itu pelik, sekaligus mencekik.
            Kemudian kami memiliki ide, rencana hebat. Menawarkan kejujuran dari satu-satunya tempat yang dapat kami jamah. Sungguh, aku merasa ternodai saat tahu bahwa kata-kata di zaman ini banyak dimanipulasi. Kata-kata harusnya tanpa pretensi. Dan tercetuslah, redaksi koran dan stasiun radio. Semua dijadikan satu kantor. Di gedung sayap kiri, ada ruangan kosong, kami membeli mesin siaran sekaligus frekuensinya dari kawan SMA jurusan Teknik di Bandung. Menara pemancar radionya terletak di atas gedung ini. Dan ruangan kosong itu kami resmikan sebagai sekretariat. Seharusnya, satu minggu sebelum jadwal ujian, koran kami naik cetak. Tapi kami kurang sumber daya, kurang narasumber. Kurang dukungan. Berharap apa dari dosen-dosen itu. Mereka takut dengan penguasa. Kami dikatakan anak kecil.
            Dari 10 orang yang berjuang demi proyek kejujuran ini, ku akui, dia pemimpin kami. Mungkin karena dia kandidat terkuat Ketua Senat.  Aku tidak peduli tentang pesta demokrasi Senat. Itu politik lagi. Di proyek ini, aku lebih fokus pada redaksi koran, dia lebih memilih di stasiun radio karena itu sangat rawan dan lebih menuntut diperhatikan.
Malam keakraban adalah salah satu cara kami menggalang massa. Di malam nanti, akan ada yang berorasi. Aku sudah tidak tahan lagi, aku muak ditipu sana-sini. Demonstrasi di bundaran HI pun tidak akan berbuah apa-apa. Teriakan-teriakan ditengah terik tidak akan membawa kejujuran pada rakyat.
Dia memecahkan lamunan ku, “Oh iya, kalau bukan karena buku ini, aku mustahil menyusul kamu,” Dia menyodorkan buku putih, buku sakti ku. Tadi memang sengaja ku tinggalkan di meja siaran. “rundown-nya ada yang aku ubah. Ngga apa-apa kan?”
Aku bangkit karena hujan memang sudah tidak sederas tadi, “Yaudah, terserah.” Dia menyusul ku bangkit. Langkahnya menyusul pelan, menyeimbangi. Kami diam. Ya, karena kami tidak lagi memeliki perlu satu sama lain.
            Satu hal yang aku tahu dari pertemuan kami, “Kamu memang sering ke tempat tadi kan? Bukan hanya menyusul aku?”
“Sok tahu.”
“Kamu bisa mengembalikan buku itu besok, lusa atau kapanpun. Nggak mesti tadi.” Dia tersenyum, diam-diam mengakui analisis ku. Kami berjalan ke arah lapangan parkir.
Dia menghentikan langkah, “Kamu pulang?” Itu pertama kalinya ia melontarkan ucapan basa-basi. Ku gemerincingkan kunci mobil. Dan berlalu. Kemudian kami selesai. Hari itu, pertemuan kami selesai.
***
            Ruang 3x4 ini dahulunya adalah perpustakaan kecil, entah tahun berapa berubah kosong. Di sudut ruangan sudah kami sulap menjadi studio kecil, terpisah oleh kaca degan pintu masuk utama, di studio itu peralatan siaran diletakan
Tatapan ku tertuju pada setumpuk kertas, berita seminggu terakhir. Berita ini adalah berita jujur, bukan hasil rekayasa seperti koran yang dijual di depan gerbang kampus. Mengurus harga beras pun belum becus, apalagi kurs” . Judul yang menarik, harga beras Rp. 5.000/kg sekarang, ini gila. Kurs rupiah terhadap dollar berada di kisaran 16 ribu. Semakin sejahteralah antek-antek asing itu.
            Aku menyalakan mikrofon mesin siaran, siap mengudara.
“Ya, selamat pagi saudara sebangsa dan setanah air, menjelang pertengahan April ini tidak banyak perubahan. Begini nasib jadi mahasiswa tahun 1998, hidup mu dihabiskan untuk demonstrasi, kuliah hanya untuk para sampah. Suara rakyat harus kita perdengarkan! Dan Radio Kejujuran kembali dengan berita jujur, kali ini masih dari kursi pemerintahan. Mereka yang duduk disana, sedang berpesta pora. Mereka yang mengurus harga beras pun belum becus, apalagi kurs. Rupiah sekarang berada-----“
KLIK.
Mesin siaran mati. Sambungan terputus. Dan kata-kata ku hanya menggantung di udara.  Ini tidak mungkin tidak sengaja, listrik di ruangan ini pasti diputus paksa.
Tiba-tiba pintu ruangan ditendang, aku terkesiap. Dia---laki-laki Kandidat Terkuat Ketua Senat, datang dengan muka merah padam. Tangannya mengepal. Dan ketika matanya jatuh menatap aku, tergambar jelas dia terkejut. Kemudian tatapannya langsung beralih ke jendela studio, tempat aku duduk di belakang meja siaran. Ia menghampiri ku.
Emosional dan tempramental, itu sudah bukan lagu lama lagi untuk mendeskripsikan dia. Ia seperti sumbu yang siap disulut. Jiwa kepemimpinannya memang kuat, ia adalah si pengarah yang seringkali masih sulit mengarahkan emosinya sendiri.
Tangannya menelaah satu persatu lembaran berita yang sudah ku susun sejak satu minggu yang lalu, ia mengacuhkan aku. Seperti tidak menemukan apa yang dicari, ia beralih ke loker-loker di sudut sebelah kanan ruangan, membuka satu-persatu. Entah mencari apa.
“Aku lagi siaran, tiba-tiba mati.” Cetus ku yang tidak tahan karena ia tidak kunjung melihat aku. Gerakannya berhenti. Ia berbalik.
Ia tidak menjawab atau memberi penjelasan apa-apa, malah balas berteriak, “Harusnya disini!” kemudian ia menghempaskan tubuh di kursi kayu tempat kami menunggu.
Aku menghampirinya dan menutup salah satu loker, “Kamu cari apa?”
“Bukan urusan kamu.” Jawabnya ketus. Aku melayangkan tatapan sinis. Ia hanya tertunduk diam, menatap kosong ubin-ubin dingin tempat kami berpijak.
“Oke, fine.” Ku jatuhkan dengan ringan setumpuk kertas berita yang ku pegang. Aku melenggok pergi keluar dari pintu kayu yang tadi ia tendang. Sebelum akhirnya aku sadar, tas ku masih disitu.
Aku hanya berdiri depan pintu. Dan dia masih disitu. Duduk di kursi kayu menatap ubin dengan tatapan kosong. Tidak berubah satu senti pun.
Aku berdehem pelan, kepalanya terangkat.
“Aku nggak bermaksud untuk...” kata-katanya berhenti, menggantung. Ia bangkit menghampiri ku. Aku tidak bergeming, menunggu kata-kata selanjutnya.
Hening.  Tidak ada kata-kata selanjutnya. Seolah, ucapannya memang selesai sampai disitu. Dia berlutut kemudian memunguti kertas-kertas berita yang tadi aku jatuhkan. Aku ikut berlutut dan memungut. Tidak butuh waktu lama sampai kertas-kertas itu terkumpul kembali.
Setelah menaruh kertas berita di tempat semula, aku duduk lagi di kursi kayu tadi.  “Untuk meledak di depan kamu.” Ujarnya tiba-tiba, menyambung perkataannya yang menggantung tadi. Dari nada bicaranya, ia tampak sudah lebih tenang. Tidak ada lagi sorot amarah atau emosi. Dia sudah kembali.
Kemudian ia melanjutkan penjelasannya, “Ada yang memblokir frekuensi kita.”
Aku melayangkan tatapan sejuta tanya. “Mereka berdalih kita nggak punya tanda bukti bahwa kita sudah membeli frekuensi itu.” Lanjutnya.
“Dan daritadi kamu mencari kwitansi pembelian sekaligus sertifikatnya?”
Itu pertanyaan retoris. Kami membeli frekuensi ini dari salah seorang kawan SMA di Bandung, sudah ku katakan di awal, ia adalah orang dalam RRI. Dengan berbekal nama Ayah ku kami akhirnya memiliki koneksi langsung dengan bagian komunikasi. Seperti selayaknya, frekuensi ini adalah barang langka yang dijual, terutama disaat pemerintah begitu ketat mengawasi aktivitas jurnalistik sekaligus broadcasting, mahasiswa pula yang mengelola. Kami diberi sebuah sertifikat dan itu adalah senjata, bahwa kami membeli frekuensi ini secara legal.
Walaupun aku tahu, di kampus ini pun dosen-dosennya tidak pernah ada yang melegalkan kegiatan kami. Hanya mencari masalah namanya jika mendukung redaksi dan stasiun radio buatan mahasiswa. Dimana mahasiswa adalah musuh utama pemerintah, dinilai hanya bisa demo dan merusak fasilitas umum. Tapi kami ingin bersuara dengan cara lain. Kebebasan pers sendiri pun amat minim sekarang. Kami benar-benar cari mati.
“Sertifikatnya ada di tas ku. Sengaja nggak aku simpan disini, bahaya.” Aku menunjuk tas ransel hijau tosca di samping meja. Ia mulai beranjak dan dengan hati-hati mengambil sertifikat yang sudah dilaminating.
“Tapi percuma....”
“Loh, kenapa?”
“Kalaupun kita memberikan sertifikat ini, mereka masih punya satu juta alasan untuk memaksa kita berhenti mengudara. Masalahnya bukan kelegalan frekuensi ini saja, proyek kita ini sudah ilegal. Segini, koran kita belum naik cetak.” Ada nada mengeluh dari ucapannya. Aku menghela nafas.
“Nggak ada perjuangan yang mudah.” Ucap ku disertai senyum, “Aku duluan ya, sertifikatnya di kamu aja. Sekiranya memang dibutuhkan, kasih lihat aja. Toh, itu juga bukti bahwa kita berhak mengudara. Peduli apa dengan dosen-dosen itu.” Aku meraih ransel dan berjalan keluar. Tanpa di duga, ia menyusul dan mengunci pintu ruangan.
Kami berjalan bersisian, namun rasanya tidak seaneh kemarin, ada yang cair diantara kami dan semuanya mengalir berawal dari pertanyaan basa-basinya, “Kamu suka nulis dari kapan?”
“Sejak aku dibelikan 3 dus majalah oleh Ibu, waktu TK. Tapi sepertinya aku tidak perlu menanyakan hal yang sama ke kamu, kamu bukan orang yang suka menulis kan?”
Ia terkekeh kecil, tebakan ku benar. “Aku lebih unggul dalam kemampuan verbal.” Sudah ku duga, aku memiliki intuisi bagaimana membedakan orang yang unggul dalam verbal ataupun nonverbal. Dari karakteristiknya, pria ini bukan yang lihai berkata-kata dalam bentuk aksara, namun lebih pada intonasi dan artikulasi. Ia orator ulung. Berpengaruh lewat ucapan. Dia kerap kali menjadi pemimpin demonstrasi di Bundaran HI atau Gedung MPR RI, tapi untuk menulis essay tentang Orde Baru, dia membutuhkan waktu lebih dari seminggu, padahal topiknya sama saja dengan orasinya ketika berdemo. Mungkin itu juga salah satu alasannya lebih fokus pada siaran radio dibanding redaksi koran.
Dia hobi sekali bicara tidak tuntas, “Tapi aku selalu suka dengan orang yang suka menulis.” Aku diam karena heran dengan ucapannya, dia menyambung lagi. “Ayah ku penulis. Dia orang hebat, tenang. ”
 “Wah, Ayah kamu udah ngeluarin buku?”
Dia terkekeh kecil, tidak menjawab pertanyaan ku dia balik bertanya, “Jam berapa sekarang?”
Aku yang melirik sekilas jam putih pemberian Ayah yang melingkar dipergelangan tangan ku, “Jam tiga kurang lima belas.”
“Sampai lima belas menit lagi, kamu masih disini kan?”
Mata ku menyipit, “Memangnya kenapa?” Tapi dia tidak menjawab.
Kami terus berjalan melewati Fakultas Ilmu Politik, dia mengajak ku duduk di kantinnya. Aku menolak, “Nggak ah, kita kan bukan mahasiswa disini.”
Dia menarik kursi kemudian duduk, “Ya memang bukan.” Tangannya meraih daftar menu, mau tak mau aku ikut duduk. “Aku ingin kamu lihat, mahasiswa yang mempelajari ilmu tertinggi di negeri ini. Kamu tau, politik itu sebenarnya hal termudah, nggak perlu macam-macam teorinya, karena politik nggak mengenal salah atau benar, baik atau buruk. Tapi untung dan rugi.” Ia mengangkat tangan kemudian memesan dua porsi nasi goreng ditambah jus jeruk untuk kami berdua. Itu keputusannya sepihak. 
Kemudian ia melanjutkan ocehannya tentang jurusan politik, dia memang seringkali sok tahu. Dia bilang mahasiswa yang sekarang sedang mendengarkan ceramah di kelas hanya sedang mengantri dan menunggu giliran untuk menjadi penguasa. Mereka hanya akan membuat negeri ini semakin kotor. Ocehannya tidak berhenti, bahkan sampai piring ku bersih.
“Politik adalah parang yang paling kotor, lumpur-lumpur kotor.” Ujarnya diujung pembicaraan kami.
“Itu Soe Hok Gie kan?”
Dia mengangguk, “Ayah ku penulis, dia sudah banyak menerbitkan buku. Dia orang yang tenang, tapi dia terlewat nekat. Dia sangat berani, menulis yang menurutnya benar. Sampai akhirnya datang orang-orang itu.” Aku kira ia tidak akan melanjutkan bahasan tentang Ayahnya yang seorang penulis, aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini menuju, seolah ia sedang membuka tirainya di hadapan aku. “Dan sekarang aku pun nggak tahu dia ada dimana.”
Aku terkesiap. Sudah banyak cerita tentang orang-orang hilang. Kebanyakan karena mereka menentang pemerintah, tidak ada yang tahu kemana hilangnya orang-orang itu, disekap, dipenjara atau yang lebih menyedihkan, dibunuh. Tapi aku juga tidak pernah tahu, bahwa cerita orang hilang itu akan diceritakan pada ku langsung dari mulut yang kehilangan, dari mulut orang yang dekat dengan kehidupan ku, dari mulut seorang anak yang tidak tahu Ayahnya berada dimana. Ku kira itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti kami sebagai mahasiswa yang merasa bisa melakukan apa saja, ternyata tidak.
“Terus kamu udah coba cari beliau?”
“Diawal-awal aku pernah melakukan itu, setiap hari aku telusuri tempat terakhir yang dia datangi sebelum dia tiba-tiba diseret paksa. Saat itu dia hanya sedang membeli jagung untuk kami. Aku teror orang-orang terdekatnya, aku selidiki kantornya, aku hubungi semua koleganya bahkan aku mendatangi kampusnya di Yogya, hasilnya nihil. Dia tidak pernah ada dimana-mana. Ibu ku sendiri sampai frustasi, aku pun muak, aku lelah. Aku nggak tahu harus cari dia kemana lagi. Bahkan saat aku demo pun, aku berharap aku ditangkap, terus dijebloskan ke tempat yang sama dengan Ayah.” Ia menarik nafas pelan dan melanjutkan ceritanya, “Makanya pas kamu minta bantuan untuk proyek ini, aku langsung teringat Ayah, cita-cita dia dulu adalah meneriakan kejujuran. Kamu tahu, harapan untuk menemukan beliau itu masih ada, membakar aku. Aku langsung setuju sama proyek ini walaupun artinya mendorong diri sendiri ke jurang.”
Kini aku tahu, seberapa besar ia menaruh dendam pada orang-orang itu. Aku pun tidak bisa memastikan siapa orang-orang itu. Yang jelas, mereka adalah sebuah kerajaan besar, yang menguntit diam-diam dan seram. Aku tahu mengapa begitu aku usulkan untuk membuat redaksi koran dan stasiun radio, dia begitu semangat, padahal kami tidak saling mengenal dekat saat itu. Aku meminta bantuannya karena dia adalah Kandidat Ketua Senat yang kebetulan teman SMA ku, tidak lebih. Aku tidak pernah mengira bahwa ada kisah yang lebih dari sekedar ingin meneriakan kejujuran, ia ingin menemukan Ayahnya.
“Sekalipun Ayah ku udah nggak ada, setidaknya aku ingin menemukan mayatnya, kalau mayatnya pun udah nggak ada, aku ingin melihat batu nisannya. Intinya, aku ingin tahu di tanah mana Ayah ku sekarang, dalam kondisi apapun. Aku ingin melihat dia lagi.”
Aku tersenyum kecil, aku bukan tipe orang yang dengan mudah memberikan kata-kata semangat, toh dia pun tidak membutuhkan itu sekarang. Dia sudah terlalu semangat. “Aku janji akan bantu kamu. Radio ini akan terus mengudara, koran kita pun akan terus terbit. Dan keinginan mulia kamu pasti terlaksana. Kamu pasti bisa ketemu Ayah kamu lagi.”
Anehnya dia tidak menangis, dia tidak terlihat sedih. Seolah cerita menyakitkan itu sudah biasa ia utarakan. “Jam berapa sekarang?”
“Setengah 4.” Aku melirik jam tangan ku lagi, “loh memangnya kita ngobrol selama itu ya?”
***
Hari ini, malam keakraban digelar, sesuatu yang kami perjuangkan satu minggu terakhir. Seharian aku memastikan semua berjalan sesuai rencana, sound system, lampu-lampu dekorasi yang kami rangkai semalaman suntuk, makanan, alat musik, pemusik yang kami undang dengan dana patungan dan..... podium. Karena hanya podium lah sesungguhnya yang paling penting untuk acara ini, tidak ada yang lain. Dan oratornya adalah dia, Kandidat Terkuat Ketua Senat. Tidak ada yang lebih mampu untuk memberikan pengaruh sebesar itu selain dia.
Lepas maghrib, acara dimulai, namun sampai sekarang dia, si Kandidat Terkuat Ketua Senat, belum menunjukan batang hidungnya, padahal kami sedang sibuk. Semua orang sudah hilir mudik di lapangan, panggung sudah ditata sedemikian rupa, kursi-kursi mulai diisi.
Byar, lampu dinyalakan, menandakan acara ini dibuka, diam-diam aku mendengar desis kagum dari mulut teman-teman kami, “Ternyata anak Sastra seniat ini ya.” Celetuk seorang yang duduk di barisan Fakultas Ilmu Budaya.
Orang-orang yang duduk disini sesungguhnya adalah orang-orang yang memiliki warnanya masing-masing namun aku sangat yakin bahwa kami dan mereka memiliki jiwa yang sama, sama-sama rindu kedamaian, sama-sama ingin kuliah tanpa dihantui cerita-cerita orang hilang. Petrus, pembunuhan misterius, terdengarnya sangat menyeramkan.
Setelah dibuka oleh MC, Dekan diperkenankan untuk memberi sepatah dua patah kata, walaupun kami mengadakan acara ini untuk proyek ilegal, kami tahu birokrasi itu seperti apa. Kami masih tahu tata krama. Aku tahu, para pihak Dekan sudah menutup mata tentang kegiatan kemahasiswaan seperti ini, mereka takut. Wajar itu, aku pun takut. Semua orang diliputi ketakutan di zaman ini. Prinsipnya, ikuti permainan mereka dan kau akan aman.
Semua nampak biasa saja, kami harus bisa memberikan kesan pada Dekan bahwa ini tidak lebih dari malam keakraban dimana satu angkatan berkumpul dan bersenang-senang seperti selayaknya, beliau pun mungkin lupa tentang ujian tengah semester satu minggu dari hari ini. Setelah Dekan selesai memberikan sambutannya, harus ada yang menjadi pengalih perhatian dan membawa beliau keluar dari acara ini. Saat ia baru selesai memberi salam, aku merasa tangan ku tertarik.
“Hey, kamu mau bawa aku kemana?”
“Sini dulu, kita harus bicara.”
Ya, siapa lagi yang menarik ku kalau bukan Kandidat Terkuat Calon Ketua Senat itu, dia membawa ku ke belakang, jauh dari panggung, jauh dari keramaian. Aku akhirnya memaksa ia melepaskan tarikannya, “Apa-apaan sih? Kamu kemana aja daritadi?”
Dia duduk di kursi semen, “Kamu yakin? Aku tanya sama kamu lagi, kamu yakin? Dengan semua ini? Semuanya rencana gila ini.”
“Kenapa juga harus ragu? Kamu sendiri, kenapa kamu ragu?” Aku mendelik marah. Tahu kemana lagi perbincangan ini menuju.
“Bukan aku sendiri yang ragu, semua. Semuanya ragu sama rencana ini, Cuma kamu yang yakin, Cuma kamu yang setuju, kamu tahu?” nada suaranya mulai meninggi, aku emosi. Ku layangkan tatapan tajam, meminta penjelasan.
“Tapi.... tapi.... kamu kan...”
“Tadi semua kandidat ketua senat dipanggil oleh Dekan Universitas, beberapa orang di sekretariat juga. Mereka memperingatkan, sungguh-sungguh memperingatkan, acara malam ini tidak berbau unsur politis apapun, tidak ada orasi, tidak ada rencana-rencana gila. Mereka sudah bisa mencium tujuan malam keakraban ini apa. Dekan sudah tidak mau tahu lagi, pihak universitas tidak ingin mencari masalah, mereka tidak segan mencabut izin belajar bagi siapapun yang terlibat. Drop out.” Ia mengatur nafas, detak jantung ku menjadi tidak menentu. Drop Out. Kata kata itu terus bergema di kepala.
Kampus kami termasuk kampus terbaik di Indonesia, tidak mudah berada disini, aku tahu. Kampus ini bukan untuk anak-anak malas belajar. Aku juga tahu. Yang aku tidak tahu adalah kampus ini ternyata dikepalai oleh orang-orang penakut.
“Tolong fikirkan lagi, ah iya. Aku mau, orator nanti jangan aku.” Kata-katanya diucapkan dengan tegas, menyulut amarah ku.
“Kamu tuh apa-apaan sih, labil. Kita sudah kerja keras selama ini, terus mau berhenti?”
“Bukan, bukan kaya gitu. Setidaknya sebelum ini semua benar-benar dimulai, ini semua nggak mudah. Masa depan banyak orang dipertaruhkan disini. Tolong kamu mengerti itu. Aku pun nggak mau ambil resiko dengan menjadi Pemimpin Redaksi dan Stasiun.”
Aku terbelalak, ini keterlaluan.“Terus, Ayah kamu? Cita-cita kamu?”
Suaranya menjawab parau, “Aku baru sadar, itu konyol.”
“Kamu yang konyol! Kalau kamu nggak mau jadi orator, nggak apa-apa. Kalau kamu terlalu pecundang untuk itu, yaudah biar aku aja.”
“Dengar aku dulu, aku takut, firasat ku akan ada sesuatu yang buruk terjadi kalau kamu kekeuh mempertahankan ini. Aku hanya meminta kamu untuk kuat, dengan apapun yang terjadi nanti. Kamu bisa kuat?”
“Memangnya kamu fikir aku selemah apa?” Sebelum dia menjawab, aku melanjutkan ucapan ku, kali ini menusuk. “Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku.”
Dia diam, ada jeda lama. Kemudian dia bangkit dan meninggalkan aku, dia berjalan ke arah kerumunan. Sambutan dekan sudah selesai sejak tadi, kini digantikan musik yang mulai berdentum-denntum.  Aku dengan emosi yang masih menyala, berteriak, “Hey! Kita belum selesai!”
Aku mencarinya diantara kerumunan, tidak sulit, ia memakai jaket merah yang cukup terang di saat gelap seperti ini.
Kami berdiri bersisian, “Aku cuma nggak mau, orang lain menderita karena keinginan kecil milik aku.” Ujarnya, tanpa menatap aku. Pandangannya tetap menuju ke arah panggung, dihadapan kami orang-orang sedang bernyanyi sambil meloncat-loncat bahagia. “Mungkin, aku memang bukan pemimpin yang baik.” Bisiknya parau.
Aku menoleh, sedikit menengadah karena ia memang jauh lebih tinggi dari aku. “Kamu itu terlalu banyak mikirin orang lain, sampai lupa diri sendiri. Dipendam terus. Makanya, kamu sering meledak tiba-tiba.”
Akhirnya dia balas menoleh pada ku, menghela nafas sedikit, “Yaudah. Untuk sekarang, lebih baik kamu nggak perlu ngomong dulu sama aku. Percuma.”
Dia berbalik, pergi.
Aku langsung berlari menuju podium, aku tidak tahu ini benar atau tidak. Dekan sudah pergi sejak band yang kami undang mulai bermain. Aku tidak menyangka malam ini menjadi seperti ini. Disaat semua orang tidak berbeban. Disaat semua orang, bahagia.
***
Diluar perkiraan, daftar yang ingin bergabung dengan kami begitu banyak. Aku tidak tahu keajaiban apa yang ada, padahal orasi ku benar-benar menjijikan saat itu. Sudah ku katakan kan, aku bukan orang yang memiliki kemampuan verbal yang bagus.
 Aku sedang duduk di sekretariat, memindahkan data dari formulir ke komputer. Tiba-tiba dia menghampiri ku, ya dia lagi. “Orasi kamu bagus.” Katanya dengan enteng.
Aku mendelik tajam. “Maaf soal semalam.” Akhirnya ia mengucapkan itu. Aku hanya mengangguk.
“Untuk pemimpin redaksi memang tidak bisa aku, akan ada spekulasi kalau itu adalah kampanye ketua senat. Kamu mengerti kan?” Dan untuk kedua kalinya aku mengangguk, disusul senyum tipis.  Dia menggendong tasnya lagi dan beranjak ke luar pintu, “Aku duluan.”
 “Silahkan.”
Tidak lama setelah itu, Rio dengan tergesa-gesa masuk.
“Ah kamu disini, kamu dipanggil Dekan.” Mata ku terbelalak, ada yang tidak beres.
 Dengan degup jantung yang tidak karuan, aku menuju ruang Dekan yang terletak di utara kampus. Aku mengetuk pintunya perlahan.
Suara dari dalam menjawab, “Masuk.”
Aku menarik kursi di hadapannya, tanpa basa-basi, Sang Dekan langsung bertanya,  “Siapa pemimpin redaksi dan stasiun radio fakultas kamu?”
Aku kembali teringat bahwa dia tidak bisa menjadi pemimpin redaksi, itu akan menyulut emosi lawannya di Kandidat Ketua Senat, kampanye gelap, ah politik lagi. Dengan berat aku menjawab, “Saya Pak.”
 Beliau menghela nafas, “Sudah saya duga. Kamu tahu betapa bahayanya itu. Jika kalian salah menerbitkan berita, kamu tahu seberapa besar resikonya. Ini bukan hanya menyangkut redaksi koran dan stasiun radio fakultas kamu saja. Kamu menyalahi hirarki! Malam keakraban semalam pun pasti ada unsur politisnya, padahal saya sudah peringkatkan pada kandidat ketua senat. Kamu kan ketua panitia acara itu?” Aku mengangguk lemah.
Aku pucat pasi. Kini, aku benar-benar sudah masuk ke dalam jurang.
“Sudah terlalu banyak kesalahan kamu. Untuk itu, kami sepakat untuk mengeluarkan surat ini.” Beliau menandatangani secarik kertas, kemudian menyodorkannya ke hadapan ku. Kertas itu. Dengan kop universitas. Izin belajar ku ditahan, bahasa anak SMA-nya skors. Aku dilarang mengikuti Ujian Tengah Semester. Keputusan drop out dilihat dari kelakuan ku, jika aku berbuat yang aneh-aneh. Status mahasiswa ku di cabut. Aku tidak tahu apakah universitas ini pernah memberikan pembekuan izin sebelumnya atau tidak. Untuk sesaat, nafas ku berhenti. Ayah pasti akan marah besar, aku terancam tidak lulus tahun ini, padahal satu semester lagi dan aku akan memulai skripsi.
Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan pada Dekan, seperti apakah hanya aku saja yang menerima skors ini atau apakah stasiun dan redaksi kami masih bisa berdiri, banyak. Namun lidah ku kelu. Aku menatap nanar kertas di genggaman ku.
Dan akhirnya, aku memilih keluar. “Terimakasih banyak Pak, Permisi.”
Aku sudah menyusun apa saja yang akan aku lakukan semester kedepan. Aku berjanji pada Ayah lulus tahun ini, melanjutkan studi di Inggris seperti yang selalu Ayah inginkan. Rasanya semua mimpi-mimpi ku pupus. Dan di tangga menuju lantai satu, aku jatuh. Menangis. Mendekap erat-erat lutut ku. Aku sendiri. Aku tidak peduli. Kemudian aku ingat, tas ku masih di sekretariat. Aku ingin pulang.
Sepanjang koridor, air mata ku mengucur tanpa tertahan. Aku takut, firasat ku akan ada sesuatu yang buruk terjadi kalau kamu kekeuh mempertahankan ini. Kalimat itu berdentum-dentum di kepala ku, seperti irama musik saat ia mengatakannya. Dan aku sampai di depan pintu. Dia disana, sedang duduk di depan komputer.
Satu tanya yang merubuhkan aku. “Gapapa?”
“Gapapa apa?”
“Kamu. Kamu gapapa?”
Kemudian aku meledak. Kencang. “Firasat kamu benar. Dan hal buruk itu terjadinya sama aku. Hahahahahahaha.....” Tawa diakhir itu terasa hambar. Dia menghela nafas.
Dan aku langsung dikerubungi oleh lebih dari 5 orang, semua mengatakan hal sama. Hal-hal klise yang dikatakan saat kamu menangis. Semangat. Sabar ya. Semua akan indah pada waktunya. Pasti ada jalan keluarnya. Sungguh, aku tidak butuh kata-kata seperti itu. Dan dia keluar dari lingkaran yang mengerubungi ku.
Tiba-tiba, dia kembali lagi, “Eh, gue butuh ke percetakan.” Dia menarik tangan ku, keluar dari kerubungan. “Temenin yuk?”Aku langsung mengangguk. Dia ingin membawa aku kabur.
 “Tapi janji jangan nangis.” Aku mengacungkan dua jari.
Kami berangkat ke percetakan, cukup jauh dari kampus. Dia tahu aku butuh lari. Dia tahu aku tidak nyaman dikerubungi seperti tadi. Dia tahu, kalau aku hanya butuh dia saat ini.
Di percetakan aku menepati janji ku untuk tidak menangis, dan dia tidak menceramahi ku apa-apa, dia hanya diam dan mendengar. Tidak ada kata semangat, sabar, dan hal-hal klise lain. Kemudian aku berbagi, bagaimana sesungguhnya Ayah tidak pernah setuju aku kuliah di Indonesia, terlebih jurusan sastra. Janji-janji ku pada beliau. Mimpi-mimpi ku. Semua hal yang tidak pernah aku ceritakan, pada siapapun sebelumnya.
Setelah hasil cetakan keluar, kami kembali ke kampus, sekretariat kosong. Kami memutuskan kembali ke parkiran. Cerita kami ditutup dengan celetukan iseng, “Lain kali jangan nangis lagi ya.” Aku mengernyit, “Kamu jelek banget. Sumpah.” Dan dia menirukan aku menangis. Lebih jelek berjuta kali lipat. Lalu kami tertawa.
Tawanya berhenti, “Kamu nggak bisa pulang sendiri dengan kondisi sangat jelek kaya gini. Rumah mu dimana?” Aku terkesiap.
“Aku bawa mobil kok.” Aku tidak ingin dia mengantar sampai rumah, Ayah pasti tidak suka. Ayah tidak pernah suka anaknya merepotkan orang lain, ia selalu mendidik ku untuk mandiri, memberikan beragam fasilitas. Ayah pasti marah, ditambah dengan surat pembekuan izin kuliah itu. Aku takut.
“Mobil mu tinggal di penitipan 24 jam, kamu belum stabil, banyak demonstrasi dimana-mana sekarang. Kamu nggak bisa pulang sendiri. Rumah mu dimana?” Aku tahu itu, demonstrasi yang semakin lama semakin anarkis. Dan aku masih bisa meledak kapan saja.
“Daerah Senayan.” Kata ku pelan, ia mengangguk, lalu aku langsung masuk ke mobilnya dan tertidur.
***
Ketika aku membuka mata, mobil sudah berhenti. Yang jelas berhentinya bukan di depan rumah ku. Tapi di gedung hijau kura-kura, dengan gerbangnya yang megah. Semua orang di negeri ini pasti tau, Gedung MPR dan DPR. “Akhirnya bangun juga. Dari sini kemana?” pertanyaannya menyadarkan lamunan ku. Tangan kanan ku menunjuk jalan disebelah gedung DPR ini.
Dia memutar stir, kemudian tersadar akan sesuatu, “Kamu tinggal di kompleks perumahan anggota Dewan?” Ini yang aku takutkan, ini yang membuat aku tidak mau diantar pulang. Aku tidak mau dia tahu siapa aku.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
            “Belokan pertama ke kanan. Rumah ku nomor 3 darisitu.” Ia pun menurut. Dan kami sampai di rumah ku, gerbangnya dari lantai marmer. Tanpa basa basi atau mengajaknya masuk, aku langsung mengangkat tas dan membuka pintu. Kaca mobilnya turun, aku hanya berterimakasih pelan. Ia masih melayangkan tatapan heran dan meminta penjelasan. Aku langsung masuk ke dalam rumah.
Di dalam, Ayah sudah menunggu, seperti yang biasa ia lakukan. “Kamu berbuat ulah apa lagi di kampus? Dekan mu menelpon Ayah. Memalukan.” Aku gusar. “Sudah Ayah bilang, kamu jangan masuk Sastra, otak mu itu jadi aneh kan. Harusnya kamu masuk politik, agar wawasan mu itu luas.”
Aku bangkit dari sofa dan hendak menuju kamar, “Yah, udahlah aku capek, mau istirahat.” 
 “Izin belajar mu sudah Ayah cairkan, kamu masih bisa ikut ujian, kehidupan akademis mu tidak terganggu.” Jelas Ayah, aku yang sudah hendak menaiki tangga, langsung berbalik dan memeluknya. Ayah tidak menolak, namun tidak juga membalas, ia malah berkata,  “Itulah keuntungan menjadi orang politik, kau bisa mempengaruhi orang lain dengan mudah.”
Aku tidak peduli dengan ocehan Ayah soal harusnya aku masuk jurusan politik. Yang aku pedulikan adalah Ayah sudah menjadi pahlawan ku.
“Ada syaratnya. Kamu harus berhenti dari redaksi radio itu. Kamu harus membuat surat pengunduran diri. Atau kamu Ayah pindahkan ke luar negeri. Indonesia sudah tidak aman terutama untuk mahasiswa. Yang ada kamu hanya akan menjadi ampas-ampas yang berdemo di depan kantor Ayah.”
Aku melepaskan pelukanku, melayangkan tatapan heran pada Ayah. “Tapi... aku kan..”
“Keluar dari stasiun radio itu atau kamu Ayah keluarkan dari kampus.” Kemudian Ayah berlalu ke ruang kerjanya, ruangan megah tempat Ayah menghabiskan separuh hidupnya. Tempat yang selalu membuat Ayah menjadi berbeda dari ayah-ayah teman ku yang lain.
Ternyata masih banyak yang belum aku ceritakan, sejujurnya aku tidak pernah ingin menceritakan ini. Bahwa Ayah ku adalah anggota parlemen. Ia adalah salah bagian dari mereka yang selalu disebut-sebut hipokrit. Yang kantornya di demo setiap hari. Ayah ku adalah salah satu dari orang-orang itu. Ayah ku seorang DPR. Pejabat, Pemerintah. Musuh rakyat nomor satu di zaman ini. Kaki tangan Presiden. Yang selalu bangga dengan karir politiknya. Dan aku, anak seorang politikus yang amat membenci politik. Karena politiklah yang membuat Ayah ku berubah. Politik menjadikan Ayah ku berbeda.                                                                                             
***
Aku tidak bisa memilih keputusan lain. Selepas kelas terakhir, aku berjalan menuju sekretariat dengan mata bengkak. Surat pengunduran diri sudah diletakan di dalam map biru yang sekarang ada di genggamanku. Ayah sendiri yang membuat itu, sekaligus surat permohonan maaf kepada pihak universitas. Aku hanya tinggal menandatanganinya. Surat untuk universitas sudah ku serahkan tadi pagi, Dekan menyambutnya dengan senyum yang sangat manis. Saking manisnya hingga aku ingin muntah.
Aku sudah beratus-ratu kali menapaki lorong-lorong ini, namun tidak pernah sesunyi ini rasanya. Seolah dinding-dinding bisu ikut bicara, bagaimana bodohnya aku sekarang, dengan secarik kertas yang sesungguhnya bisa ku robek kapan saja, tapi nyatanya justru kertas ini yang merobek-robek aku. Aku dihancurkan oleh benda paling mudah hancur seperti kertas.  Bahkan cicak yang bersembunyi pun tahu, betapa rapuhnya aku. Menyedihkan.  Langkah ku terasa begitu berat, terutama setelah pintu kayu yang sudah ku masuki entah untuk keberapa kalinya itu semakin terlihat. Dan dengan sisa-sisa keberanian ku, ku ayunkan daun pintunya.
Di dalam, ternyata ada 10 orang sedang sibuk bercanda sambil mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada yang di depan komputer, di dalam studio siaran ah iya aku hampir lupa hari ini jadwal kami mengudara dan beruntungnya kali ini tanpa hambatan apapun, dan ada yang memegang satu bundel koran. Di sebelah komputer, ada setumpuk kertas yang sama. Aku mematung di depan pintu. Mereka semua terlihat amat bahagia.
“Kok diam aja? Lihat deh, korannya udah jadi! Akhirnya, perjuangan kita tidak sia-sia, beberapa udah mulai disebar dan responnya positif semua. Semua senang sama koran kita. Kamu memang Pemimpin Redaksi yang hebat.” Ujarnya riang, sungguh jika ada deskripsi sempurna dari sebuah kebahagiaan, maka itulah yang terpancar dari wajah-wajah mereka.
Dia lagi, lagi dan terus lagi. Aku pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di bumi ini terus bergerak, takdir sendiri pun adalah benda cair yang kodratnya mengalir. Sekalipun hidup kami selalu bersisian lebih dari 6 tahun, aku tidak pernah menyangka kami melangkah sejauh ini. Semuanya bergerak, berjalan. Dan terasa asing.  
Ada banyak pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini. Mengapa hidup berputar lebih cepat dari rencana yang telah kita buat masing-masing. Aku merasa terlempar pada sebuah fase yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Semuanya berubah menjadi rumit.Ternyata selama ini kita berjalan di sebuah jalan yang ternyata sama sekali bukan kuasa kita. Ada yang Maha Kuasa, atas segala.
 Sungguh aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaan mereka untuk detik ini. Namun akhirnya ku lakukan juga, “Aku mau resign. Selamat dan semangat.” Ku sodorkan map itu. Sontak semua orang langsung menoleh pada ku, menatap tajam. Ruangan seketika sunyi.
 Sudah. Cukup. Urusan ku selesai. Aku langsung lari keluar, tidak peduli siapapun yang memanggil ku. Benang hidup ku semakin kusut akhir-akhir ini. Aku langsung terjatuh di koridor. Menangis.
Saat aku mengangkat kepala, sudah ada sesosok laki-laki di hadapan ku. Tidak perlu bertanya siapa, dia.  
Dia pun berubah, percakapan kami berubah, aku baru sadar percakapan kami berubah menjadi yang penuh basa-basi dan tidak seperti sebelumnya, “Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa kamu memutuskan pergi disaat harapan itu ada? Kenapa kamu malah memilih lari? Kamu sendiri yang bilang, tentang keberanian karena kita berjuang untuk kejujuran. Kamu orang yang paling berani yang aku tau. Kenapa kamu malah seperti ini? Resign. Konyol tau gak, bercanda mu nggak lucu.”
“Aku nggak bercanda. Aku nggak bisa lanjut lagi. Percuma.”
Ia sudah tidak ada di hadapan ku lagi, kali ini ia memilih duduk di sampingku. “Yaudah, coba kamu cerita. Aku siap dengerin.”
“Nggak ada yang bisa diceritain. Udah sana, urusin korannya lagi. Aku titip sama kamu ya.”
Matanya terlihat gusar, “Kamu kenapa sih, apa susahnya cerita, sama aku doang kok.”
“Gak bisa. Intinya, aku, kamu, redaksi, stasiun, semua selesai. Aku butuh fokus sama skripsi.” Aku tahu dia marah, ketika dia mengizinkan aku masuk ke dunianya, tapi aku tidak mau membuka pintu untuk dia agar masuk ke dalam dunia ku. Aku tahu itu tidak adil. Keadilan apa yang tersisa di zaman sekarang?
Ia melayangkan tatapan begitu tajam, “Mestinya kamu kuat, aku hanya minta kamu untuk kuat. Nggak ada perjuangan yang mudah kan? Kalau kamu memang butuh tempat, ya kamu cerita.” Aku menggeleng kuat, aku tidak ingin meledak lagi, terutama di hadapan dia.
“Apa arti seorang pemimpin kalau dia aja nggak bisa berpengaruh. Bahkan kamu aja nggak mau cerita sama aku. Banyak yang nggak kamu ceritain ke aku, akhirnya begini kan.”
“Kamu tuh berpengaruh sama redaksi ini, stasiun ini, SENAT, universitas, jangan sama aku lah.”
Dia tampak lelah dengan semua bantahan-bantahan ku, “Yaudahlah, intinya aku masih sangat menginginkan kamu untuk tetap disini, karena aku butuh, bukan cuma formalitas tapi karena benar-benar butuh. Aku butuh kamu untuk menguatkan kita, redaksi dan stasiun itu butuh kamu.”
            “Aku nggak bisa menguatkan, karena nyatanya aku pun belum kuat.”
Dia terkekeh kecil, “Aku nggak kenal kamu yang ini.”
Aku balas tersenyum tipis, “Atau kamu memang tidak pernah mengenal aku?”
Hati ku berkecamuk, dia bukan siapa-siapa dan tidak pernah menjadi siapa-siapa. Kami hanya sedang tersesat, ini semua hanya karena takdir kami sedang beririsan, semua ini pasti akan berakhir dan kami akan kembali berjauhan. Karena sesungguhnya kami memang tidak pernah saling mengenal. Dia tidak pernah tahu apa-apa tentang aku. Tidak akan pernah.
“Pantes, aku Cuma kenal kamu yang bertopeng. Kamu yang kuat, super, berani, yang selalu menjadi tempat. Semuanya ternyata topeng. Dan jujur aku kecewa sama topeng-topeng kamu.”
“Percayalah, semua orang di dunia ini memakai topeng. Bahkan termasuk kamu. Bahkan sampai kamu sendiri tidak tahu, mana diri mu yang asli dan mana yang topeng. Tahu kenapa? Karena mungkin terlalu banyak.”
Dia marah, aku tahu itu, matanya mulai menyala dengan hebat. “Percuma ya aku disini? Aku kira kamu tempat terbaik untuk aku meminta nasihat. Hahahahahahahahahaha nanti aku sendirian, nggak punya tempat cerita lagi, nggak akan ada nasihat-nasihat lagi. Yaudah, pilihan ada di tangan kamu, silahkan pilih aja keputusan yang kamu mau.” Di ujung katanya ia menyelipkan senyum tipis.  Aku mematung, sebelum sempat berkata-kata.
Dia lanjut bicara, “Maafkan bocah ini ya, dia hanya ingin mencari teman untuk berjuang. Perjalanan ini bukan perjalanan sendirian.”
Nafas ku semakin berat, semua terasa semakin berat dengan ucapannya. Ia menambah beban ku berjuta kali lipat, dengan menahan tangis, aku menjawab, “Cari teman lain sana.”
Dia menelengkan kepalanya pada ku. Kemudian tertawa, tawa hambar yang dipaksakan. “Waw, terimakasih atas sarannya. Itu sangat membantu aku.” Mulut itu, yang menjadi lebih sering bercerita banyak kepada ku akhir-akhir ini, berkata begitu menusuk.
Aku sudah tidak kuat, percakapan ini hanya akan saling memanas dan membakar kami. Aku tidak ingin terbakar. “Aku terlalu rumit untuk menjadi teman perjalanan mu.” Ku ucapkan penuh ketegasan. Kemudian aku berdiri dan lari.
Dia tidak menyusul ku, menahan ku, atau menyuruh ku untuk tetap di tempat. Dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya berteriak, “Kamu juga nggak pernah cerita kamu adalah seorang anak Anggota Dewan. Dasar penipu.”
Kata-katanya itu diteriakan oleh dinding-dinding koridor, sel-sel otak ku, suara-suara dalam tubuh ku. Dasar penipu. Dasar penipu. Inilah alasan ku aku tidak pernah membuka tirai pada siapapun, dunia ku terlalu mengerikan, dunia ku terjal penuh liku, banyak jurang, banyak badai, sering hujan sering gersang. Untuk itu aku membuat dinding dimana dunia ku memiliki sekat yang membuat siapapun tidak bisa melanjutkan perjalanan masuk ke dalam sini.
Ada banyak dunia yang jauh lebih baik untuk di selami olehnya dibanding dunia ku. Aku bukan penganut Hukum Newton III, dia boleh cerita apapun kepada ku bahkan cerita-cerita yang tersembunyi dari mata dunia, aku tidak keberatan. Tapi itu tidak serta merta membuat aku harus cerita hal yang sama. Aku tidak bisa berbagi apa-apa yang memang seharusnya tidak dibagi.
Aku terlalu rapuh untuk itu. Dan sekarang, aku kembali duduk di dalam dunia yang luas seorang diri. Di kelilingi badai.
***
Sudah dua minggu sejak kejadian itu, aku belajar melepaskan, aku belajar hidup dalam kesendirian yang ternyata begitu meresahkan, aku belajar mengosongkan diri dari apapun yang memenuhi, hingga setiap ruang dalam hati terasa lebih lapang dari biasanya. Lalu pelan-pelan aku mengisinya dengan lebih tertata, semoga yang ini lebih bijaksana. Dengan kehidupan akademis, mimpi-mimpi besar yang sebenarnya milik Ayah, bukan milik ku.
Sejak aku lebih sering menyibukan diri belajar di rumah, sikap Ayah mulai melunak kepada ku, sekarang sebelum beliau pergi ke gedung singgasananya, beliau menyempatkan diri mengantarku ke kampus. Hari ini tanggal 10 Mei 1998. Demonstrasi makin pecah dimana-mana. Rupiah jatuh ke dasar jurang. Harga-harga makin melambung tinggi tak terjamah. Pengangguran merajalela. Presiden Soeharto dituntut turun oleh mahasiswa di seluruh penjuru Nusantara di halaman Gedung Nusantara. Rakyat pun turut muak. Pemilu bulan April kemarin itu tidak sah, demokrasi dinodai.
Aku tahu satu minggu terakhir sedang gencar-gencarnya ormas Gerakan Mahasiswa Indonesia. Terutama mahasiswa Jakarta, pemimpinnya dari Universitas Trisakti, 2 hari lalu ia datang bertemu dengan para Kandidat Ketua Senat. Radio Kejujuran itu terus menerus siaran tentang GMI 1998. Aku merasa terpanggil, ini adalah cita-cita ku. Namun masalahnya, Ayah. Ayah terus menerus memonitor semua pergerakan ku. Ayah paling benci membicarakan mahasiswa Indonesia.
“Mereka itu hanya bisa teriak-teriak, hanya bisa merusak!” Aku hanya bisa diam setiap Ayah menggerutu seperti itu. Namun hari ini, Ayah berbeda. Tidak biasanya ia membicarakan aktivitas ku di kampus, aktivitas kemahasiswaan, organisasi dan hal-hal semacam itu, Ayah biasanya hanya menganggap aku sebagai seorang anak yang harus lulus dengan cum laude tahun ini, dan aku harus pergi dari Indonesia, secepatnya.  
“Coba ceritakan pada Ayah soal GMI.” Ujarnya saat kami melewati kawasan Semanggi. Aku menoleh ke arahnya melayangkan tatapan heran. “Kawan Ayah ramai membicarakan itu, Ayah ngga mau kamu terlibat. Bahayanya besar.”
“Kapan juga Ayah mengizinkan aku.”
“Ayah ini orang politik, Ayah tau bagaimana busuknya parlemen, tapi Ayah bisa apa? Ayah hanya bisa melindungi kamu. Ayah melarang kamu menjadi aktivis dan ikut demonstrasi karena itu satu-satunya cara Ayah melindungi kamu.” Tuturnya jujur, tapi beliau tidak menatap aku. Kami memilih jalan memutar, demonstrasi lagi. “Tolong kasih tahu teman-teman kamu, rencana mahasiswa demo 12 Mei sudah terdengar aparat. Aparat tidak pernah setuju aksi damai, tidak ada kata damai di mata aparat. Demonstrasi dimana-mana tidak ada damainya sama sekali. Polri dan militer sudah mempersiapkan blokade di Gedung Nusantara.”
Aku hanya diam menanggapi penjelasan Ayah, sebelumnya ia tidak pernah sejujur ini. Ia tidak pernah membawa aparat, demonstrasi, militer dan mahasiswa ke dalam mobil kami. Itu adalah hal tabu bagi pembicaraan kami. “Tolong Ayah, Ayah tidak ingin teman-teman kamu kenapa-kenapa. Ayah tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua yang melepas anaknya ke jalanan tanpa tahu anaknya akan pulang atau tidak. Demonstrasi 12 Mei itu pasti akan berujung tragedi. Percaya pada Ayah. Ingatkan teman-teman kamu.”
Sebelum aku berbicara banyak hal, mobil sudah memasuki pelataran kampus ku. Aku langsung menghambur memeluk Ayah, disitu aku tahu, Ayah tidak sejahat yang aku bayangkan.
***
Rasanya asing aku melangkah ke koridor ini lagi, sejak pertengkaran kami waktu itu, aku dan dia tidak pernah bicara banyak, aku hanya tahu kabar tentang stasiun dan redaksi dari siaran mereka. Dia tidak pernah bercerita apapun pada ku lagi. Seketika, aku merasa tertinggal.
Di sekretariat, Kandidat Ketua Senat berkumpul, ada 4 orang yang nampaknya asing,
“Hai.” Aku melambaikan tangan kikuk, mereka membalas senyum ku. Belum sempat aku bicara apa-apa, dia menarik ku keluar ruangan. Aku tidak terima, “Apaan sih!”
“Ngapain kamu disini?”
“Sejak kapan juga aku ga boleh kesini?”
Dia berdecak, “Jangan meracau. Orang-orang yang ada di dalam sedang rapat penting.”
“Justru itu, justru itu aku datang. Aku minta kalian berhenti dari omong kosong itu. Aparat sudah tahu rencana kalian dan mau berapa kali pun kalian mendeklrasikan aksi damai. Tidak ada damai di mata aparat sampai kalian tunduk sama penguasa.” Tutur ku dengan nafas naik turun. “Aku harus masuk!” Ku lepaskan pegangan tangannya di lengan ku.
“Kamu itu siapa? Kamu bukan aktivis kampus. Kamu bukan Kandidat Ketua Senat, kamu hanya mahasiswa yang mementingkan akademis kan? Kamu fikir mereka percaya dengan omong kosong kamu?” ia membalas dengan kata-kata pedas. Aku terbelalak.
“Kamu...”
Ia berkata sinis. “Oh iya, aku lupa. Kamu seorang anak DPR. Kamu nggak senang kalau kantor Ayah mu diserang, kan?” Aku membisu.
“Kamu bisa ikut terjun, kamu bisa menyampaikan aspirasi kamu, cita-cita kamu, kamu bisa melawan kelaliman ini kan?!” Dia mengguncangkan tubuh ku. “Aku tahu siapa kamu.”
“Terus, kalau kamu udah tahu, kamu merasa ngerti? Jangan sok tahu tentang hidup orang lain.” Desis ku. Rahangnya mengeras. “Aku disini Cuma mau mengingatkan kamu, kalian boleh merasa superior dengan jiwa muda kalian, dengan semangat kalian tapi yang kalian hadapi itu aparat keparat, mereka satu juta kali lebih licin dari kalian. Kalaupun aku nggak bisa menahan mereka yang ada didalam, setidaknya aku bisa mengingatkan kamu. Semuanya hanya akan berbuah luka. Pikirkan Ayah kamu juga.”
“Justru aku disini, untuk membalaskan dendam Ayah ku.”
“Semua yang berawal dari dendam, hanya akan berakhir dengan kejam.” Aku menatapnya nanar, “Kamu sendiri kan yang mengutip dari Soe Hok Gie, politik adalah parang yang paling kotor, lumpur-lumpur kotor.
“Kutipan itu belum selesai, tetapi suatu saat dimana kita tidak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah.
“Tapi...”
“Egois mu udah keterlaluan. Jangan hanya karena kamu nggak bisa menuntaskan ambisi kamu, kamu melarang aku dan orang-orang di dalam untuk berhenti. Silahkan pergi, silahkan lari dan jangan harap aku akan mencari.” Dia mengibaskan tangannya meminta ku pergi. “Ternyata aku ketinggian menilai kamu.”
Aku menghela nafas, menahan air yang sudah menggenang di pelupuk. “Yaudah, aku titipkan cita-cita aku sama kamu dan orang-orang di dalam. Aku Cuma minta kamu hati-hati terus ya.”
Mungkin, aku memang tidak pernah menjadi siapa-siapa. Sungguh, aku masih sangat ingin dia ada disini, dia tidak pergi kemana-mana. Mengobati sepi yang tidak bisa ditawar lagi kesepiannya.
Rasa khawatir ku lebih besar dari ambisi ku.
Kemudian aku berbalik, pergi.
Demonstrasi itu pecah hari ini, 12 Mei 1998. Gerakan Mahasiswa Indonesia hari ini melangsungkan aksi, di dominasi oleh Universitas Trisakti, pemimpin demonstrasi itu orang-orang yang dua hari lalu ada di sekretariat, omongan ku dengan dia kemarin tidak berbuah apa-apa. Tidak berpengaruh apa-apa, mereka tetap turun ke jalan, dia tetap pergi. Ayah meminta aku tetap di rumah hari ini. Tidak ada tapi atau negosiasi lagi, terlalu bahaya. Aku hanya melihat apa yang terjadi dari kaca televisi.
Mahasiswa memulai aksi yang mereka sebut damai menuju gedung DPR sekitar pukul 12.30 tidak lama dari itu, benar kata Ayah, militer dan polri memblokade jalan mereka menuju Gedung Nusantara. Tuntutan mahasiswa saat itu adalah reformasi. Presiden Soeharto harus turun dari tahta yang sudah ia diami selama 32 tahun, mahasiswa pun menuntut peghapusan dwi fungsi TNI/POLRI karena aparat di zaman sekarang tingkahnya semakin mengkhawatirkan.
Mahasiswa tidak terima dikekang aparat, mereka mencoba bernegosiasi, benar kata Ayah pula, tidak ada aksi damai dalam demonstrasi. Aparat menolak tuntutan mahasiswa untuk berdemo di depan Gedung Nusantara.
Kemudian, hujan peluru itu menghantam mereka. Gas air mata dilempar disana-sini.
Rusuh. Negeri ini suasananya mencekam. Semua orang menutup pintu mereka rapat-rapat. Ayah benar untuk yang ketiga kalinya, hari ini hanya akan melahirkan tragedi.
Tragedi Trisakti. Itulah nama hari ini. 12 Mei 1998, menghantarkan 4 orang Pahlawan Reformasi.
Aku menyaksikan semuanya dari layar televisi, aku hampir gila, meraung-raung. Ayah melihat itu. Aku masih belum tahu bagaimana nasib teman-teman ku.
Sampai akhirnya telepon itu datang.
“Dia tertembak matanya.”
Dan tonggak yang menopang dunia ku, runtuh seketika.
***
Aku tidak peduli Ibu menahan aku untuk tidak pergi. Aku langsung menuju rumah sakit tempat para korban diungsikan. Berlari menembus orang-orang yang masih rusuh, darah dimana-mana. Dan aku hanya ingin bertemu dia.
Dan disana dia, tergeletak bersimbah darah. Aku meringis, pedih rasanya.
“Rel.... Farrel...” mungkin, itu kali pertama aku langsung memanggil namanya.
Aku harap-harap cemas, tangannya menggapai-gapai udara, kosong, lalu bibirnya bergerak, ia tahu ada aku, “Ka...ka..ka...mu...si..a..pa....”
Matanya tertembak, oleh dokter ia divonis buta permanen. Bahkan, dia tidak tahu aku siapa. Rasanya terlalu menyayat hati.
“Aku Marsha. Farel, mari kita saling bercerita. Seperti yang dulu sering kita lakukan. Aku janji, sekarang aku akan cerita sama kamu, semuanya. Semua tentang aku, apapun itu, apapun yang kamu tanya ke aku. Semuanya Rel, semuanya.”
Dia memang buta, tapi telinganya masih berfungsi dengan baik.
Sore itu, dia menjawab semuanya. Dia masih baik-baik saja.
Dia tersenyum, tipis. Dan itu sudah lebih dari cukup. Sangat cukup untuk ku.
Asal dia masih bicara dan mendengar, asal dia masih bisa bercerita pada ku.
***
Mari bercerita, seperti yang biasa kau lakukan di tengah perbincangan kita.
Sesungguhnya berbicara dengan mu, tentang segala hal yang bukan tentang kita.
Selalu bisa membuat semuanya lebih bersahaja.

No comments:

Post a Comment