Sampai pandangannya beralih ke tapak kaki kami yang
bertebaran disepanjang pinggir pantai.
Sedetik kemudian ia langsung meraih
kameranya dari ku dan membidik pasir-pasir itu. Tidak lama kemudian, ombak
bergulung-gulung lalu menyapu jejak-jejak kami yang tak jauh dari laut.
“Kenapa?”
“Supaya
ketika kamu sudah menginjakan kaki di London atau aku sudah dapat menaiki
perahu di Venezia, kita tidak lupa akan jejak-jejak itu yang pernah turut andil
membawa kita sampai titik akhir impian kita.” Bisiknya, “Kelak, saat kita sudah
mulai saling melupakan, aku harap kita tidak akan lupa cara untuk saling
menemukan.”
Jejak-jejak dipasir tadi mungkin memang sudah hilang,
tapi waktu punya catatannya sendiri. Bahwa kami dua anak manusia yang pernah
saling berjalan beriringan.
(yang tertulis di halaman 44/85)
dulu bisa nulis sebanyak itu, sekarang juga kan, Fon?
Nus aku janji gak akan bolos nulis lagi
PS :
mengakui atau enggak, kamu pasti dengar nama saya kan,
kamu pasti dengar nama saya kan.....
saya cuma penasaran, apa rasanya mendengar sebuah nama.....
apa bisa kaya saya kalau mendengar hanya sebuah nama.......
bodoh ya.
sempet-sempetnya aja mikirin ginian.
No comments:
Post a Comment