Selamat menjabat, Pak, Bu.
Para wakil kami. Kami sayang kalian.
Nggak tahu sih ini apa, merasa ingin berbagi ini aja.
Iya, puisi akhir akhir ini ampas semua. Dan berani-beraninya ngirim ini untuk lomba, jelas nggak menang lah. Ingin menjadikan blog ini isinya bukan cuma sampah. Tapi ini sampah, gimana dong? Ya namanya juga paradoks. Hahahaha.
Tersebutlah seorang
pemimpi
Ia mengembara mencari
realita.
Tapi dunia ini adalah
gudang paradoks raksasa.
Orang-orang masih buta
apa beda antara pemimpin dan penguasa.
Orang-orang
bertanya-tanya, tetapi tidak mencari jawabannya.
Mereka yang meringkuk
di pelukan seorang ibu yang dijuluki kota
Adalah sisa-sisa
kampanye para raja agung waktu silam
Menadah bilah-bilah
kemanusiaan
Kepada manusia yang
ternyata tidak berkemanusiaan.
Lantas mereka apa?
Di petak-petak
tak-tahu-berapa-batas meter dari gedung jurusan politik
Ada lebih dari 100
mahasiswa seumur sang pemimpi
Mereka larut dalam
berlembar-lembar tugas dosen
Tentang pelajaran
memegang negeri, nanti.
Tanpa pernah belajar
mengendalikan.
Di tanah yang sudah
sangat perlu dibenah, milyaran manusia dipenjara
Oleh paham-paham
ortodoks, tentang harta dan kuasa.
Tanpa diberi kesempatan
mengenal bagaimana ada bersama-sama.
Mereka yang berikat
dasi ternyata manusia yang hobi mencekik
Sumpah dibawah kitab
suci tidak lantas menjadikan mereka suci.
Tinta-tinta hitam yang
terserap diputihnya lembar ini itu
Hanya untuk menyerap
segala kenikmatan Tuhan lebih banyak lagi.
Merekalah yang menjabat
sebagai pejabat.
Mereka-reka yang mana
lagi untuk mulut busuk mereka.
Mempersiapkan kampanye
5 tahun lagi.
Karena setiap 5 tahun,
kita hanya sedang memilih orang-orang yang akan berkuasa.
Untuk menjadi penguasa.
Melantik mereka menjadi
pengontrol penuh, agar kita harus patuh.
Dan hal itu adalah
tradisi tiap generasi.
Pesta demokrasi
ternyata tidak lebih dari ajang menjerumuskan negeri ini lebih dalam lagi.
Padahal di sudut sudut
zamrud khatulistiwa,
Di tempat yang tidak
terjamah oleh para bedebah,
Banyak pemimpi, yang
bermimpi
Tentang seorang
pemimpin.
Mereka tahu persis
seperti apa pemimpin itu.
Bukan yang selalu ada
di depan,
Tetapi yang menguatkan.
Bukan yang penuh egois
diri,
Tapi keteguhan hati.
Bukan pula dia yang
berambisi,
Tapi mengabdi dalam
periode abadi.
Orang nomor satu
harusnya bisa menjadikan negeri ini nomor satu
Dia memiliki kendali.
Dia bisa menjadi apa saja, melakukan apa saja.
Karena dia orang nomor
satu. Karena dia yang dikatakan, pemimpin. Pembuat keputusan.
Katanya semua orang
ingin menegakan hukum,
Tetapi semua orang juga
yang menodai hukum.
Pemimpi-pemimpi itu
kadang merasa lelah bermimpi.
Karena
pemimpin-pemimpin itu seperti tidak pernah ada.
Kemudian para pemimpi,
berhenti bermimpi.
Meregas pucuk-pucuk
daun pengharapan negeri.
Pemimpi-pemimpi.
Mereka bebal karena
khayal.
Mendamba kenyataan,
tetapi kabur dari kenyataan.
Andai mereka tahu lebih
tentang seperti apa seharusnya pemimpin itu.
“Jika kenyataan tidak
seperti kamu yang khayalkan, mengapa kamu tidak menjadikan khayalan menjadi
kenyataan?”
Pemimpi yang
mengembara, panca inderanya mulai peka.
Karena dunia ini adalah
tentang berencana kemudian berusaha.
Pemimpi-pemimpi yang
lelah bermimpi malah memilih meringkuk di dipan-dipan.
Berencana tetapi tidak
tahu bagaimana
Dan mahasiswa-mahasiswa
jurusan politik, masih mengerjakan tugas mereka
Berusaha tetapi tidak
tahu untuk apa.
Itulah paradoks
raksasa,
Semua mendamba, tapi
nyatanya diam saja.
Presiden, mahasiswa,
petinggi-petinggi, pemimpin,
Dunianya penuh
paradoks.
Dan seorang pemimpi
pengembara mengingat kata-kata guru fisikanya,
Kalau “n” sama dengan
usaha.
Maka pemimpin adalah
seorang pemimpi ditambah usaha.
Dan pemimpi itu tidak
lagi marah pada ruang bernama nyata,
Tidak lagi mengutuk
penjajah yang ada di parlemen,
Tapi menghardik dirinya
sendiri, Apa yang sudah kau beri?
Bogor,
Maret 2014.
Takbir dimana mana. Seketika kangen paciweuh ngurus acara itu.
kangen jadi orang sibuk.
Doain UTSnya ya!
Halo, penyihir aksara. Bagaimana pendapatmu tentang sebuah sistem yang membuat ibu pertiwi kita menangis, dan kita di sini terkurung dan hanya bisa mengoceh akan sistem yang cacat itu? Padahal sistem itu sendiri yang mengurung kita. Layaknya membuka segel sebuah gunting yang masih disegel. Paradoks, bukan?
ReplyDelete