05/10/2014

Paradoks Raksasa

Semalam, di saat orang Takbiran, Bapak-Ibu di lantik ya?
Selamat menjabat, Pak, Bu. 
Para wakil kami. Kami sayang kalian. 
Nggak tahu sih ini apa, merasa ingin berbagi ini aja. 
Iya, puisi akhir akhir ini ampas semua. Dan berani-beraninya ngirim ini untuk lomba, jelas nggak menang lah. Ingin menjadikan blog ini isinya bukan cuma sampah. Tapi ini sampah, gimana dong? Ya namanya juga paradoks. Hahahaha. 


Tersebutlah seorang pemimpi
Ia mengembara mencari realita.
Tapi dunia ini adalah gudang paradoks raksasa.

Orang-orang masih buta apa beda antara pemimpin dan penguasa.
Orang-orang bertanya-tanya, tetapi tidak mencari jawabannya.

Mereka yang meringkuk di pelukan seorang ibu yang dijuluki kota
Adalah sisa-sisa kampanye para raja agung waktu silam
Menadah bilah-bilah kemanusiaan
Kepada manusia yang ternyata tidak berkemanusiaan.
Lantas mereka apa?

Di petak-petak tak-tahu-berapa-batas meter dari gedung jurusan politik
Ada lebih dari 100 mahasiswa seumur sang pemimpi
Mereka larut dalam berlembar-lembar tugas dosen
Tentang pelajaran memegang negeri, nanti.
Tanpa pernah belajar mengendalikan.

Di tanah yang sudah sangat perlu dibenah, milyaran manusia dipenjara
Oleh paham-paham ortodoks, tentang harta dan kuasa.
Tanpa diberi kesempatan mengenal bagaimana ada bersama-sama.

Mereka yang berikat dasi ternyata manusia yang hobi mencekik
Sumpah dibawah kitab suci tidak lantas menjadikan mereka suci.
Tinta-tinta hitam yang terserap diputihnya lembar ini itu
Hanya untuk menyerap segala kenikmatan Tuhan lebih banyak lagi.
Merekalah yang menjabat sebagai pejabat.
Mereka-reka yang mana lagi untuk mulut busuk mereka.
Mempersiapkan kampanye 5 tahun lagi.

Karena setiap 5 tahun, kita hanya sedang memilih orang-orang yang akan berkuasa.
Untuk menjadi penguasa.
Melantik mereka menjadi pengontrol penuh, agar kita harus patuh.
Dan hal itu adalah tradisi tiap generasi.
Pesta demokrasi ternyata tidak lebih dari ajang menjerumuskan negeri ini lebih dalam lagi.

Padahal di sudut sudut zamrud khatulistiwa,
Di tempat yang tidak terjamah oleh para bedebah,
Banyak pemimpi, yang bermimpi
Tentang seorang pemimpin.
Mereka tahu persis seperti apa pemimpin itu.

Bukan yang selalu ada di depan,
Tetapi yang menguatkan.
Bukan yang penuh egois diri,
Tapi keteguhan hati.
Bukan pula dia yang berambisi,
Tapi mengabdi dalam periode abadi.

Orang nomor satu harusnya bisa menjadikan negeri ini nomor satu
Dia memiliki kendali. Dia bisa menjadi apa saja, melakukan apa saja.
Karena dia orang nomor satu. Karena dia yang dikatakan, pemimpin. Pembuat keputusan.
Katanya semua orang ingin menegakan hukum,
Tetapi semua orang juga yang menodai hukum.

Pemimpi-pemimpi itu kadang merasa lelah bermimpi.
Karena pemimpin-pemimpin itu seperti tidak pernah ada.
Kemudian para pemimpi, berhenti bermimpi.
Meregas pucuk-pucuk daun pengharapan negeri.

Pemimpi-pemimpi.
Mereka bebal karena khayal.
Mendamba kenyataan, tetapi kabur dari kenyataan.
Andai mereka tahu lebih tentang seperti apa seharusnya pemimpin itu.

“Jika kenyataan tidak seperti kamu yang khayalkan, mengapa kamu tidak menjadikan khayalan menjadi kenyataan?”
Pemimpi yang mengembara, panca inderanya mulai peka.
Karena dunia ini adalah tentang berencana kemudian berusaha.

Pemimpi-pemimpi yang lelah bermimpi malah memilih meringkuk di dipan-dipan.
Berencana tetapi tidak tahu bagaimana
Dan mahasiswa-mahasiswa jurusan politik, masih mengerjakan tugas mereka
Berusaha tetapi tidak tahu untuk apa.

Itulah paradoks raksasa,
Semua mendamba, tapi nyatanya diam saja.
Presiden, mahasiswa, petinggi-petinggi, pemimpin,
Dunianya penuh paradoks.

Dan seorang pemimpi pengembara mengingat kata-kata guru fisikanya,
Kalau “n” sama dengan usaha.
Maka pemimpin adalah seorang pemimpi ditambah usaha.

Dan pemimpi itu tidak lagi marah pada ruang bernama nyata,
Tidak lagi mengutuk penjajah yang ada di parlemen,
Tapi menghardik dirinya sendiri, Apa yang sudah kau beri?  

Bogor, Maret 2014.

Takbir dimana mana. Seketika kangen paciweuh ngurus acara itu. 
kangen jadi orang sibuk. 
Doain UTSnya ya!

1 comment:

  1. Halo, penyihir aksara. Bagaimana pendapatmu tentang sebuah sistem yang membuat ibu pertiwi kita menangis, dan kita di sini terkurung dan hanya bisa mengoceh akan sistem yang cacat itu? Padahal sistem itu sendiri yang mengurung kita. Layaknya membuka segel sebuah gunting yang masih disegel. Paradoks, bukan?

    ReplyDelete