Setiap menjelang ujian saya menyadari kalau saya menjadi sangat rentan stress;
Dalam artian lebih mudah sedih, marah, melankolis, dan overthinking.
Semalaman suntuk saya hanya tertidur lelap karena kalau terbangun saya terlalu takut menghadapi setan-setan yang gentayangan itu.
Saya takut dengan diri sendiri.
Gejala-gejalanya muncul lagi dan sungguhan saya muak dengan versi diri saya yang itu.
Siang hari saya cerita sama Astrid,
mengetik pesan dengan air mata bercucuran,
saya bukan orang yang menyenangkan,
teman saya tidak banyak,
bukan juga orang yang mudah untuk berteman dengan orang lain.
Mungkin saya merasa mudah dekat, tapi ketika perasaan itu tidak resiprokal, itu yang membuat saya patah hati.
Saya tau tidak banyak orang yang menganggap saya teman dekatnya, saya tahu saja.
Saya punya masalah dalam berhubungan dengan manusia.
Astrid membalas, "Fon km ga butuh banyak tmn, yg km butuh tmn yg bnr2 sayang sm km KYK AKUU" (yee agak pede juga but i love her so much)
Malam harinya ternyata ditakdirkan untuk berbincang hampir 4 jam dengan manusia satu itu. Yang nun jauh di Surabaya, zona terhitam Covid-19.
Sahabat dekat saya yang mungkin seringkali terlupakan juga. Yang kalau sama dia, sintingnya gak ketulungan, terkadang buat mulut saya menjadi kotor juga.
Tahan berjam-jam seperti itu bicara ke sana kemari tentu mustahil kalau bukan sama teman kan?
Sampai sekarang juga bingung bisa dekat karena apa.
Pertama karena student exchange ke Malaysia,
Lalu lanjut Biologi,
Satu kelas dan sebangku ketika kelas 10,
Berlanjut Biologi, sampai sama-sama bergelut dalam titel "dokter muda" tidak berujung ini.
Ternyata begitu ya Tuhan menjawab kekhawatiran,
Saya sangat amat menghargai berdiskusi semacam itu, seperti halnya bersama Trixie, Putri, Bintang.
Baik-baik selalu teman-temanku,
Benar, saya tidak perlu banyak teman ternyata,
saya sudah diberi sahabat sejak zaman putih biru, anak 13 tahun yang belum tahu apa-apa, sampai sekarang masih saja bisa menertawakan hal yang sama.
They are more than just friends to me;
God please take care of them.
*anyway, today I talked to my therapist again, and I'm so happy she told me the cloud is slowly fading. She could tell!*
"Inget gak Fon pertama sejak pertama kali kamu datang, berkali-kali kamu tanya ke aku, kak ini sampai kapan aku kayak gini? Kak kapan sih endingnya?
Waktu itu sudah jelas aku gak punya jawabannya, karena cuma kamu sendiri yang punya jawabannya, setelah apa yang dia lakukan ke kamu, is he really worth the pain?"
Berbeda dari biasanya yaitu menangis saat sesi konseling sekarang justru menangisnya setelah konseling.
Pertolongan memang akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka, asalkan kita menjemputnya.
Sudah selesai Modul Bedah juga, terimakasih kelompok 8 sudah menemani koass-newbie,
Ditulis semata-mata untuk mengabadikan syukur.
You'll be fine.
No comments:
Post a Comment