Setelah lama-lama ditahan, keluar juga itu kalimat.
Terdengar mengenaskan. Membuat konselor saya tercengang,
"Terus kenapa juga kamu harus tetap terhubung? Untungnya apa buat kamu Fon?"
Because it's easier to be angry rather than to let go.
I always have problem with holding on and let go.
Saya meyakini betul semua orang punya ujiannya masing-masing: ada yang bentuknya keluarga, finansial, akademis, kesehatan, relasi, kepercayaan diri, dan urusan hati macam begini.
Tidak ada yang lebih ringan atau berat, semua ujian itu sama-sama harus dihadapi.
Kalau bisa memilih, saya juga ingin memilih di tempat mana saya lebih baik diuji.
"Kayaknya mending yang ini aja deh, asal bukan yang itu."
"Saya masih tahan kalau diujinya soal ini, saya mohon jangan soal itu."
Tapi kan tidak begitu cara bermainnya.
Akan selalu ada banyak pertama yang menyakitkan, mungkin memang harusnya begini.
Saya lagi-lagi ditampar kenyataan bahwa bagaimana pun yang saya punya memang cuma saya sendiri akhirnya.
Tidak semua orang mengerti kesakitannya karena yang merasakan saya sendiri.
Tidak semua orang yang tampak mengerti benar-benar mengerti
Tidak semua orang yang sudah dibagi, tidak mencaci
Tidak pernah ada yang menjamin seseorang berpihak kepada kamu karena kamu cuma punya diri sendiri.
Soal manajemen ekspektasi memang tugas besar yang harus saya benahi.
Saya tidak tau apa faedahnya menulis soal perjalanan sembuh ini.
Mungkin sebagai pengingat di masa depan ketika saya sudah lebih bijaksana untuk tidak punya dendam, saya bisa mengenang masa-masa paling sulit ini dengan hati lebih lapang.
Beberapa highlight dari sesi konseling, entah sudah yang ke berapa dan sebenarnya sudah saya tau juga teorinya,
"Memaafkan itu bukan soal membenarkan perbuatannya. Perbuatannya tetap salah dan memang menyakiti kamu. Memaafkan itu untuk membebaskan diri kamu dari tali yang mencekik.
Kamu berhak bebas Fon, berhak bahagia lagi."
"Tapi Kak, aku butuh stepnya, guidelinenya"
"Gak semua ada buku panduannya Fon"
"Aku tetap butuh. Bertahun tahun aku belajar di FK, kalau sakit ini dikasih obatnya ini, tata laksananya ini, step selanjutnya ini."
"Oke, kamu baca tentang forgiveness. Jurnal ilmiahnya lebih baik, biar enak."
Kemudian saya berpikir mungkin sudah saatnya membuat: forgiveness after betrayal and manipulations: an evidence based case report.
Saya tahu, membenci orang itu tidak benar, apalagi menaruh dendam.
Makanya saya frustasi karena saya belum bisa menangani itu.
Saya tidak pernah ingat kapan sesulit ini saya memaafkan orang lain, yang bahkan tidak pernah mengakui perbuatannya dan meminta maaf.
Ada banyak tali yang masih menjerat saya,
Saya juga mau lepas.
Usaha-usaha begini kan juga karena saya mau lepas.
Saya juga lelah terjebak di perasaan-perasaan tidak produktif ini.
Saya meyakini bahwa mungkin segalanya adalah fase. 5 stages of grief.
Tapi semakin hari saya sadar, prosesnya tidak terjadi linear.
Kadang denial, kemudian anger, bargaining, kembali anger, kembali denial.
Tidak ada yang bisa menjelaskan prosesnya seperti itu.
"Karena kamu berharap ditolong sama orang, Fon. Sembuh sama orang. Kan gak gitu. Dokternya kasih obat tapi kalau pasiennya gak minum, apa iya sembuh?"
Kalau di status mental, katanya tilikan saya saat ini masih 0.
Mungkin biar lebih mudah memantau diri sendiri, harus menuliskan apa hasil pencarian tentang forgiveness dari NCBI, Cochrane dan Scopus.
Kalau memang tidak ada yang memvalidasi perasaanmu, cukup diri kamu sendiri.
Sama seperti ketika ada orang-orang yang tidak percaya kamu akan bisa di tempat mu sekarang, cuma diri kamu sendiri yang meyakinkan kan.
Perihal memaafkan bukan hal yang mudah,
Tapi cuma itu satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan untuk saat ini.
No comments:
Post a Comment