22/04/2020

Menginginkan Sesuatu Hanya Karena Ingin.

Saya selalu senang bermimpi.
Baik itu yang bermuara tertulis di dinding kamar, notes handphone, atau hanya jadi celetukan.
Lebih tepatnya, saya selalu senang proses mewujudkan mimpi. Ini bukan perkara ketika mimpi itu berhasil atau tidak, tetapi perjalanan saya menghidupkannya. 
Ada perasaan puas yang sulit didefinisikan. Saya menikmati riset-risetnya, belajarnya, bertanya-tanya kepada orang lainnya, mencari tahunya, dan yang paling nyaman adalah ketika berdoanya. Menyebut-nyebut hal itu dini hari atau di sujud terakhir. Priceless. 
Proses-proses tersebut yang menurut saya lebih penting dibandingkan hasil akhirnya. Proses-proses seperti itu yang sejujurnya menjadi motivasi saya mencari mimpi baru karena kalau tidak, saya tidak akan melakukan apa-apa.
Some people say ambitious is my middle name, but honestly, I'll be happier if people say, I'm a determined person. 
Konsekuensi terbesar yang harus saya terima dengan banyak keinginan adalah peluang gagal yang sudah pasti lebih banyak pula. Konsep ini baru bisa saya "terima" saat saya menjalani perkuliahan, ya meski masih sering pula saya berduka kalau gagal. Kalau dulu sedihnya 1 bulan, mungkin sekarang sedihnya cukup 1 minggu. Periode waktu itu yang menjadi indikator pertumbuhan saya, tidak apa-apa lah ya. 

Keinginan-keinginan saya lebih sering berujung keinginan-keinginan saja. Saat ini saya hanya mahasiswa biasa. Tidak punya pengalaman kerja di perusahaan ternama, tidak punya start-up apa-apa, tidak pernah jadi pembicara inspiratif, tidak pernah menempati posisi strategis di kampus, tidak pula punya koneksi orang-orang penting. Biasa-biasa saja

Sejak memutuskan cuti kuliah satu semester untuk exchange, saya justru menempatkan diri sendiri pada kondisi, hm.. "school-less". Banyak sekali waktu saya kosong karena kelas-kelas saya sudah selesai diikuti dan masih harus menunggu untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Duh, padahal dapat gelar sarjana saja belum. Memang anomali segalanya.

Periode-periode ini membuat saya berpikir keras dan benar-benar brainstorming apa sebenarnya yang ingin saya lakukan dan jalani ke depannya?
Konsep uncertainty adalah hal yang paling menakutkan bagi saya, jadi salah satu cara mengatasinya adalah merencanakan hal itu. Rencana-rencana adalah alat bagi saya untuk merasa secure, terlepas dari berhasil atau tidaknya rencana-rencana itu. 
Sayangnya, dalam proses menyusun rencana ini, saya bertemu beberapa benturan dengan diri sendiri dan yang paling mengganggu adalah tentang: motivasi punya mimpi. 

Saya baru sadar, selama ini, ketika saya punya keinginan itu semua didasari oleh karena... ingin.
Alasan terbesar saya masuk fakultas kedokteran, tidak pernah karena saya ingin mengabdi pada masyarakat atau menolong orang, sama sekali tidak pernah karena itu. Alasan-alasan tersebut terlalu mulia.
Saya memilih jurusan ini karena saya tahu saya (berpotensi) suka dengan bidangnya. Saya penasaran. Saya ingin tahu. 
Seiring perjalanan pendidikan, memang jiwa-jiwa sosial itu mulai tumbuh, apalagi lingkungan kampus yang entah kenapa selalu melahirkan orang-orang dengan inisiatif sosial tinggi. Setidaknya sekarang saya sudah terbersit ingin internsip di luar Jawa, dulu saya ngotot ingin di Jakarta saja. 

Ketika memikirkan rencana studi setelah ini, saya sudah tau saya punya ketertarikan ke suatu bidang. Saya menemukan keinginan ini di tingkat 2. Sesederhana karena sistemnya sistematis, prinsip dasarnya jelas. Diperkuat dengan ditakdirkannya saya mempelajari hal itu ketika saya exchange. 
Saya jadi tahu, saya ingin bekerja di bidang itu. 
Namun, pertanyaan selajutnya adalah, apakah keinginan itu cukup?

Hal penting lain yang saya pelajari saat kuliah adalah membiasakan diri memulai sesuatu dengan why. 
Proses-proses yang saya jalani selama kuliah, baik itu saat menulis esai, belajar di modul formal atau merumuskan grand design pencalonan apa pun, selalu mengajarkan: memulai dari identifikasi masalah. 
Masalah utama harus diidentifikasi dengan jelas. Setelah itu baru kita bisa mencari, apa yang bisa kita lakukan? Apa yang bisa ditingkatkan? Apa yang ingin disasar?
Semuanya semata-mata agar apa yang kita lakukan benar-benar berdampak dan tidak sia-sia.
Saya berusaha menganut konsep itu dengan sebaik-baiknya. 

Sayangnya, konsep itu pula yang menyebabkan benturan dengan keinginan saya. 
Karena hingga saat ini, saya belum tau alasan lain kenapa saya ingin, selain karena... saya ingin. 
Saya merasa keinginan-keingan saya masih self-centered. Pemuas ego. Bukan menilik pada substansi dasarnya. Motivasi saya tidak berdasar apa-apa. Tidak lebih karena diri saya sendiri, bukan untuk orang lain.  

Masalah tersebut tidak hanya menciderai idealisme yang saya anut (tentang merumuskan sesuatu berdasarkan masalah) tapi juga potensial menyulitkan saya pada proses selanjutnya. Sudah tidak asing lagi kalau banyak sekali proses seleksi (entah itu melamar kerja, beasiswa, atau studi lanjutan) membutuhkan motivation letter
Saya berpikir keras karena saya sendiri tidak tahu apa yang kelak akan saya tulis. Saya tidak tahu apa pula pentingnya harus saya yang diterima. Bagaimana kalau saya hanya mengada-ngada dan mengumbar janji-janji belaka? 

Tidak hanya sekali saya gagal dalam proses-proses seleksi, seringkali penolakan itu terjadi setelah wawancara. Saya paling payah soal motivasi. Soal apa yang bisa saya berikan.
Saya pribadi sadar ini adalah sebuah kelemahan. Saya merasa sangat kesulitan kalau harus bicara mengada-ngada atau membohongi diri sendiri. Saya tidak bisa berbual. Saya lebih takut menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa saya tepati.

Tapi saya juga sadar, itu alasan kenapa banyak orang sering meragukan saya. Saya tidak cukup mampu mengartikulasikan motivasi pribadi menjadi sebuah hal yang konkret. yang masuk akal. yang penting. yang diperhitungkan orang.
Saya masih sering gagal dalam menunjukan bargaining point
Hal ini yang membuat saya menjadi takut ketika punya mimpi baru apalagi ketika saya tidak tahu kenapa saya harus mencapai mimpi itu. 

Hidup di lingkungan kampus saat ini, membuat saya terpapar dengan orang-orang yang genuinely berjiwa alturis dari sananya. Orang-orang yang bisa meyakinkan orang lain kalau niat mereka adalah membantu, menolong orang, berdampak untuk kemaslahatan umat. Sampai beberapa kali membuat saya berpikir, waktu pembagian jiwa sosial kayaknya saya kehabisan deh. 
Tapi saya juga tidak mampu berpura-pura menjadi yang bukan saya. Saya sedih karena keinginan yang saya punya masih tentang saya, belum bisa mencari celah apa dampaknya ini kepada masyarakat luas. Sementara, untuk daftar-daftar nanti kan butuh alasan itu.

Kalau boleh ditelusur lagi, sebenarnya ada hal yang rasanya lebih "menjual". Lebih dibutuhkan Indonesia. Lebih bisa diromantisasi di motivation letter. Lebih bisa berdampak luas dan bermanfaat untuk orang banyak. Lebih jelas-jelas masih berantakan kondisinya di negara ini, apalagi saat pandemi. Lebih sistematis. 
Saya masih berusaha mencari justifikasi pribadi juga mengapa tidak memilih hal itu padahal dulu pernah ingin. Pernah merasa saya belong to subjek tersebut. Pernah merasa, "saya banget nih".
Entah kenapa hal-hal itu terkisis begitu saja. Atau memang saya bukan orang yang mudah melakukan pergerakan ya. 

Tetap saja... saya rasa belajar ilmu spesialis itu lebih menarik. Sulitnya juga karena saya (lagi-lagi) ingin mencicipi studi di luar. Pilihannya memang ada, tapi alasan kenapanya belum ada.
Kenapa juga harus studi riset kardiovaskular dulu 1 tahun dibanding mencari pengalaman kerja supaya lulus ujian ppds nanti. 
Huft, mari kita lihat nanti. 

Waktu saya umur 17 tahun, saya menganggap orang-orang umur 20 tahun itu sudah secure. Sudah tahu apa yang mereka ingin jalani. Sudah punya alasan jelas dalam setiap pilihan-pilihan hidup yang mereka ambil. Nyatanya, sekarang saya sudah kepala dua, masih bingung-bingung juga mau jadi apa. Manusia memang tidak ada puasnya apa ya?

Saya ingin sih berusaha untuk bermanfaat di hal-hal yang saya lakukan. Semoga memang ada manfaatnya, tapi kalau dipikir-pikir selama ini saya belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat langsung, jadi saya sedih. Lebih banyak bingungnya. 

Sejauh ini, alasan personal yang masih bisa diartikulasikan adalah karena saya tahu tiga amalan yang pahalanya tidak akan terputus adalah:
1) Ilmu yang bermanfaat - alasan saya berprinsip kalau sekolah itu harus setinggi-tingginya, syukur juga saya senang mengajar.
2) Doa anak soleh - alasan saya akhirnya benar-benar menyadari kalau menikah itu perlu meski masih setakut itu apakah ada orang baik di dunia ini, hft. Sedangkan saya tahu juga kalau mau punya anak terdidik, kita juga harus terdidik dong!
3) Sedekah jariyah - motivasi saya ingin menjadi orang yang mapan, saya tahu untuk sedekah tidak mesti nunggu kaya dulu, tapi bagaimana pun kalau kita leluasa harta pasti lebih leluasa juga kan?!
wkwk malah jadi dakwah. Tapi ya masa iya nanti dakwah di motivation letter-nya?
Yaudah, intinya adalah doakan semoga segera menemukan motivasi selain sekadar ingin ya.

Semoga diteguhkan di pilihan-pilihan yang diambil. Semoga apa-apa yang kita jalani akan membawa kita kepada hal-hal yang memang berarti.
Semoga ada pencerahan atas ini semua. Kalau ada yang membaca dan tahu bagaimana mencari motivasi (selain karena ingin), sangat saya tunggu berbagi ilmunya! 

Terakhir, selamat mempersiapkan diri untuk Ramadhan! 
Selamat berpuasa dan jangan lupa tetap #dirumahaja.

wish me luck, 
Fon. 


No comments:

Post a Comment