19/12/2021

Preokupasi

Hai, 
jadi hari Rabu besok adalah ujian stase pendek terakhirku: Psikiatri. 
Stase yang ternyata adalah super stase yang... challenging?
mungkin karena semakin baca kriteria diagnosis jadi semakin menduga-duga apakah aku masuk ke situ?
stase yang membuatku teringat lagi tentang perjalanan ke Stasiun UI, naik bis kuning ke Klinik Makara, ambil nomor antrean. Kemudian menangis di ruangan bercat putih. Sesekali menyeka air mata dengan tisu. 

Keluhan utamaku waktu itu ingin memperbaiki mekanisme defensiku. Padahal sejatinya keluhan utamaku: aku ingin lupa. 
Tapi aku tidak bisa lupa. Kalau aku sakit. Kalau aku tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Kalau ketika aku pergi ke Museum Nasional di Zurich aku lebih memilih untuk menunggu sambil melihat post-card dibanding masuk ke ruang koleksinya. 
Sekarang sudah lebih baik. Jauh lebih baik. Meski aku tidak lupa juga. 

Bukan itu tapi yang sedang mengganggu pikiranku sekarang. 
Sekarang aku sedang berada di salah satu warung makan. Ku pikir pergi dari kamar kosan akan membantu produktivitas ku meningkat. Ternyata tidak, naskah psikiatriku tidak berprogress. Aku tidak tahu harus menulis apa. Aku juga sebenarnya tidak terlalu peduli tentang riwayat pribadi pasienku. Membayangkan masa laluku dikorek sedalam itu oleh seorang mahasiswa? Pasti rasanya tidak nyaman. 

Hari Jumat kemarin aku diuji oleh seorang guru besar. Semua orang mengatakan beliau baik sekali. Tidak akan bertanya di luar kompetensi Dokter Umum. Prognosisnya bonam. Artinya: baik. 
Memang begitu nampaknya, hingga sampai ketika beliau memergoki aku menjawab pertanyaan temanku saat periode membuat resume. Saat ujian. 
"Sudah Fona?"
"Belum Prof. Mohon maaf tadi saya hanya berdiskusi dengan teman tadi."
"Eh. Ini kan ujian, kalau ujian tidak boleh diskusi."

Deg. Di situ rasanya aku langsung lemas dan tidak berdaya. Menit-menit selanjutnya saya hanya ingat bahwa saya diingatkan tentang memegang panji kejujuran. Kalau salah harus mengaku salah dan tidak boleh mengeles. Ini dapat mengurangi nilai. 
Kemudian aku meminta maaf. Sambil tergagu, takut sekali beliau menghentikan ujian saat itu juga. Beliau kemudian masih memperbolehkan saya untuk melanjutkan laporan hasil wawancara pasien. 
Dengan gagap saya laporkan yang ada di kepala saya.
Kemudian saya ditanya, "Apa yang kamu rasakan?"
"Saya merasa bersalah.. saya meminta maaf."
"Jangan minta maaf. tadi kan kamu sudah minta maaf. Apa yang kamu rasakan?"
"Saya.. malu."
"Padahal tujuan saya bukan membuat kamu malu."

Menjawab pertanyaan perasaan saja saya tidak bisa. Boleh saya jujur kah kalau selama ini saya paling sulit mengidentifikasi perasaan saya. 
Saya tidak bisa bilang: saya senang. saya sedih. saya marah. Sulit. 

Semua kejadian itu terus terngiang-ngiang di kepala saya. Saya tidak sepenuhnya bertanya keluhan pasien. Bahkan setelah pasien pergi dari ruangan itu, dia tidak mendapatkan jawaban atas keluhannya. 
Saya cemas. Saya bodoh. 

Semua pikiran-pikiran itu terngiang-ngiang dua hari terakhir. Kemudian saya di sini, berbagi meja dengan orang yang tidak saya kenal. Naskah saya tidak berprogres. Refleksi diri saya tidak bertambah. Makanan dan minuman saya tidak habis. Yang terutama: pikiran saya tidak bisa tenang. 
Saya mau muntah. 
Tangan kanan saya sudah sakit 2 bulan terakhir, nampaknya carpal tunnel syndrome. 

Saya terus mengulang-ngulang ide: kenapa sih saya mau jadi dokter?
Selama periksa pasien, saya tidak pernah punya keinginan menolong. Saya mewawancarai mereka karena saya butuh menulis status setelahnya. Kemudian status itu dikumpulkan agar saya lulus. 
Ujung-ujungnya tentang saya lagi, 
Katanya kita tidak akan bisa menolong orang lain kalau diri kita belum tertolong?

No comments:

Post a Comment