05/04/2020

Cerita Hari Minggu Pagi

"Kakaaaak!!!!!"
"Kak, ayo apa lagi katanya?"
"Kak, aku mau dapat bintang!"
"Kak, ayo nulis lagi!"
"Kak, lihat ini deh!"
"Tapi gendong dulu!"
"Gak mau kotak pos, maunya main barongsai"
"Kak Fona, bawa kamera gak?"

Hari ini terhitung hari Minggu ke-4 tidak mendengar celotehan itu setiap jam sembilan sampai sebelas. 
Hari Minggu pagi saya sepi.

Pertama kali saya mengenal "mereka" tahun 2014, waktu itu ada kegiatan Smansa Mengajar, middle-event Smansa Day yang diselenggarakan OSIS. Di situlah saya tahu ada  komunitas Terminal Hujan yang ternyata didirikan oleh kakak kelas saya. Halimah adalah orang yang pertama kali mengenalkan dan mengundang mereka. Acaranya waktu itu mengajak adik-adik bermain bersama di sekolah. Saya sudah tidak ingat persis detail acara dan nama-nama adik yang saya ajar hari itu. Tapi yang tidak pernah saya lupa adalah nama Terminal Hujan dan keinginan saya untuk suatu hari mengajar di sana, meski tertunda hingga 6 tahun kemudian. Saya saat itu berpikir, suatu hari saya harus coba berkunjung dan jadi pengajar!


Adik-adik yang bermain bersama kami!


Sejujurnya, niat ini terlintas sejak akhir tahun 2018 lalu. Saya sudah bosan dengan rutinitas perkuliahan yang polanya begitu-begitu saja dan bertemu orangnya itu-itu saja. Menjemukan. Saya kehilangan identitas selain sebagai mahasiswa kedokteran. Saya mau punya identitas lain, bertemu orang baru, dan melakukan hal menyenangkan selain belajar. Kalau bisa tidak perlu tau saya ini sudah mahasiswa.
Saya sudah sempat mengontak beberapa kali tapi entah kenapa saat itu mekanismenya belum jelas harus bagaimana, berakhir dengan saya belum berkesempatan mengajar.

Selepas pulang dari Belanda, jatah cuti kuliah saya tersisa 2 bulan. Waktu yang saya habiskan sebagian besar untuk merenung dan menyusun rencana-rencana. Saya membulatkan tekad untuk tidak lagi menunda, terlebih mata kuliah semester 8 saya tergolong cukup lowong. Kebetulan juga, Terminal Hujan sedang membuka pendaftaran relawan! Isi-isi form, tunggu pengumuman, dan voila! Saya resmi jadi pengajar dari bulan Februari! Waktu itu daftarnya sendirian, gak punya teman sama sekali, cuma mensugesti diri: ah anak-anak Bogor kan paling ada anak smansanya juga.
Setelah saya bergabung, ternyata relawannya dari mana-mana. Ada yang setiap Minggu dari Tangerang, Jakarta, bahkan pengajar Maret kemarin ada yang dari Semarang (ajaib kan!)

Waktu briefing gak kenal siapa-siapa, terus telat lihat grup kalau lokasinya pindah, SKSD nanya dan disuruh nebeng. Setelah ngobrol ternyata adik kelas 2 tahun di bawah saya! Super tidak tahu malu memang.
Setelah itu dibagi kelas, dapat kelas 1! 
Dalam hati, duh dapat bocah yang beneran bocah. Duh aku kan gak sabaran. Duh pasti ngajarin baca tulis.  Duh ini pasti karena diformnya aku ngaco ngomong bisa mendongeng, padahal kan enggak.

Setelah briefing, testimoninya adalah:
"Wah kayak taman bermain Kak!"
"Hati-hati aja kak nanti adiknya tau-tau lagi ngejar tupai atau manjat pohon."
"Siap-siap jadi kuda-kudaan ya Kak"
"Ada namanya Iky dan Fitra, pintar banget, rajin masuk juga, tapi ati-ati ya kak."

Mereka adalah anak-anak yang tinggal di Kampung Kebon Jukut, persis di belakang Terminal Baranangsiang. Setiap hari Minggu kegiatan belajar mengajar dilakukan di Kantor KUA.
Komunitas ini sudah berjalan 9 tahun dan sudah jadi yayasan sekarang.
Lahir dari sebuah kesadaran kalau ternyata tidak semua anak seberuntung itu mendapatkan pendidikan. Beberapa dari mereka masih  ada yang belum bisa baca padahal sudah masuk sekolah dasar.
Ketimpangan itu ternyata benar-benar nyata. Tapi gapapa, sama sama belajar memperbaikinya juga! 

Waktu main Bowling kata, setelah ini mereka harus belajar mengeja 
Hari pertama kami main ular tangga dan belajar berhitung,
Pertemuan selanjutnya belajar mengeja,
belajar menulis,
belajar membaca,
belajar kalau mengajar itu pekerjaan sulit.

Saya sempat kewalahan ketika waktu itu murid yang datang ada 11 anak, attention span mereka yang sempit dan mudah sekali terdistraksi membuat saya dan pengajar lain harus memutar otak bagaimana kelas tetap menyenangkan. Mulai dari main ular naga, kotak pos, ular tangga, dan lain-lain.
Saya sadar kalau tantangan sebenarnya dalam mengajar adalah bagaimana menerangkan hal-hal sederhana.
Ingat sekali waktu itu belajar huruf vokal dan konsonan, sesulit itu bagi saya untuk mendefinisikan huruf vokal dan konsonan.
Jadi ingat kutipan, "untuk menguji apakah kita mengerti, kita harus bisa menjelaskan dengan versi yang lebih sederhana."
Foto pertama diambil oleh Mpit,
"Ayo Kakak senyum, aku yang pegang kameranya!"

Waktu menerangkan huruf,
the most challenging day ever 


Sang Komandan Iki!
"Aku mau jadi komandan pasukan!"
Paling pintar. Saking pintarnya kalau temannya kesusahan,
"udah sini sama aku aja" atau *bisikin jawaban*
"AKU RANKING 1 TERUS LOH KAK"

Paling membuat heboh satu kelas,
senang motret!

Sekarang udah punya panggilan baru buat aku,
"Kakak kurus!"
"Siapa kakak kurus?"
"Kak Fona!!! HAHAHA" *lalu kabur jajan es*

Paling sering minta gendong sampai bikin punggung aku encok.


Mereka senang berlomba-lomba nulis di papan tulis, rebutan spidol,
 terus nagih kosa kata baru
Bermain bersama mereka mengizinkan saya mengeksplorasi lebih dalam sisi anak kecil dari diri saya sendiri yang sudah 21 tahun.
Saya benar-benar dapat energi baru.
Mungkin karena saya bisa benar-benar menyadari lagi betapa menyenangkannya menjadi anak-anak; banyak ingin tahu, sedikit takut.

Curiosity adalah hal yang paling saya iri dari anak-anak.
Mereka bebas bermimpi setinggi-tingginya dan bertanya seaneh-anehnya.
Kalau sekarang, rasa-rasanya rasa ingin tahu saya masih besar juga tapi kadang terkalahkan dengan,
"Duh udah gede kok masih mikir begitu ya?"
"Duh masa gitu aja gak tahu sih"
"Duh nanti diomongin orang."
"Ih pertanyaannya gak penting deh"
"Duh takut gagal."

Berada di tengah-tengah mereka membuat saya lebih menerima kalau sisi anak kecil itu memang tidak apa-apa kalau masih ada. Mungkin sebagai orang dewasa kita tetap membutuhkannya. Perihal menemukan makna dari hal-hal sederhana: seperti Fitra yang senang sekali waktu mencari landak di rumput-rumput dan seringai mereka kalau dengar bel istirahat. Atau ketika tersenyum puas karena berhasil menyelesaikan buku bacaan. Atau sekecil kegirangan mereka saat menerima susu cokelat sebelum pulang. Dan saya yang selalu mesam-mesem sendiri menuju hari Minggu.

Waktu masa dua bulan itu,
berpikir keras karena ingin menghindar pulang ke Bogor. 
Menginjakan kaki di Bogor hanya akan membuat saya sedih.
Terbayang tentang mengecap perih yang belum usai-usai juga,

Mau mulai seperti teman-teman rantau saja. 
Toh, orang tua saya pun sudah tidak tinggal di Bogor---sejak lama. 
Pergi ke Bogor selayaknya mengunjungi museum,
Apa-apa yang terjadi adalah sejarah.
Rumah saya sudah berubah.

Dan saya bersyukur ada kekuatan yang menggerakan saya melawan pikiran-pikiran itu,
mengingatkan kembali bahwa pada akhirnya semua adalah pilihan kita
dan Bogor masih punya hak untuk ambil bagian dari perjalanan hidup saya.

Ternyata Bogor untuk saya tahun ini adalah tentang:
celetukan-celetukan polos
teriakan-teriakan kecil
mimpi-mimpi besar
peluk-peluk hangat 
semangat-semangat membara
dan pembelajaran hal-hal sederhana 

Bogor bagi saya tetap dan harus terus menyenangkan.
Terimakasih Terminal Hujan!


Ya Tuhan, menangis nulis ini; 
nangis karena senang sekali kenal mereka,
nangis juga karena apakah selepas ini, 
masih bisa sebebas ini?
Tuhan, saya sungguh-sungguh sayang mereka.

Kalau kelak sudah bersnelli dan jaga malam,
Minggu pagi tetap mencari energi ke sini, 
boleh ya?

PS: Hai Neptunus, saya punya Sakola Alit saya sendiri sekarang!

1 comment:

  1. Nangis baca bagian akhir :" kangen banget sama anak anak sama kk kk pengajar sama semuanya :"

    ReplyDelete