Mungkin memang ada mimpi-mimpi yang semakin solid.
Oh ya, saya mau kuliah S2 di negara impian saya
Oh ya, saya mau jadi koass yg baik, lulus ukmppd dan jadi dokter
Oh ya, saya mau ambil ppds nanti.
Oh ya, saya mau internsip di rumah orang tua.
Kemudian saya bertanya lagi, buat apa mencapai ini itu kalau tempat berbagi bahagia saja sudah tidak ada lagi?
Karena saya pernah di posisi itu.
Ya, saya menghabiskan waktu 3 bulan di negeri asing. Tapi apa saya bahagia?
Bagaimana pula saya bisa bahagia kalau satu-satunya emosi yang saya ingat adalah seberapa patahnya saya?
Bahkan Eropa tidak menyenangkan.
Menyedihkan sekali ya.
Di detik itu saya sadar bahwa memang harus bekerja keras menyembuhkan diri saya sendiri.
Mungkin saya belum bisa bahagia lagi,
Saya tidak mau apa apa, saya hanya mau jadi tidak apa-apa.
Saya tidak mau apa apa, saya hanya mau jadi tidak apa-apa.
For now, I just want to be free of this pain.
I want to be strong again, to be unbreakable.
To build my walls. Higher, stronger.
I want to be normal.
I want to be sane.
I want to have the explanation I deserve. The honesty he never gives.
Failure turns into frustration because even if I succeed at everything else, the one thing I want success to happen it won’t. I want us to success.
There is no apology, no sorry.
It's unfair.
It's unfair.
Hari ini berbincang-bincang dengan Astrid. Kehidupan Salemba kami yang terpisah sejujurnya membuat saya linglung juga. Tapi saya selalu tau, kapan pun saya butuh, Tuhan terlampau baik menghadiahkan saya sahabat-sahabat yang tetap dan terus mengerti saya. Semoga kami senantiasa mensyukuri kehadiran masing-masing.
Semoga saya masih terus diberi kesempatan jadi sahabat yang lebih baik lagi.
Kadang saya benar-benar ingin menertawakan diri saya sendiri.
Waktu penjelasan Student Support, saya bertanya-tanya kenapa bisa patah menjadikan kehidupan seseorang terganggu, bahkan sampai akademisnya dan membutuhkan pertolongan.
Saya bertanya-tanya dan saat itu yakin 100%, hal itu tidak akan pernah terjadi ke saya.
Saya paling benci menggantungkan diri ke orang lain.
Saya sangat percaya diri. Saya yakin semua kemandirian yang saya jalani sudah cukup menjadi bekal saya selalu berpijak dengan diri saya sendiri.
Saya punya kendali penuh atas diri saya sendiri.
Tapi di umur 21 tahun. Tuhan menjawab semuanya.
Dunia saya runtuh.
Saya marah, saya berang, saya kesakitan.
Saya tidak sekuat itu....
Saya tidak sekuat itu....
Saya tidak kuat dengan khianat.
Saya sudah bilang, sudah peringatkan.
Kenapa belum cukup juga? Kenapa masih salah saya juga?
Kenapa saya harus benci diri saya sendiri?
Saya sudah bilang, sudah peringatkan.
Kenapa belum cukup juga? Kenapa masih salah saya juga?
Kenapa saya harus benci diri saya sendiri?
I was depressed for months, traumatized. Maybe, I still am. It's devastating; way beyond I can bear.
After all the broken rules and promises.
After all of the silent treatment,
because it was none of my business.
because it was none of my business.
I want to scream, of course it is my business.
It's something that keep me stay up latenight, questioning my self-worth and think I'll always be too much for everyone.
It's something that keep me stay up latenight, questioning my self-worth and think I'll always be too much for everyone.
How could it seems so easy for you?
How could you live in your lies?
How could you throw away everything and act as the storm was never happened?
How could you throw away everything and act as the storm was never happened?
Everything starts to make sense.
Mengapa ini dan itu mulai terjawab
It's just my insting.
Because God knows, I don't deserve another lies.
But God, I really hate myself.
But God, I really hate myself.
Dan sampai kapan pun saya tau, saya tidak akan pernah mendapatkan kejujuran yang saya doakan.
Kenyataan yang terjadi, adalah kejujuran itu sendiri.
No comments:
Post a Comment