27/10/2022

Refleksi Diri Komprehensif

Refleksi diri ini sebenarnya adalah salah satu syarat mengikuti Ujian Komprehensif Lisan (1 dari 5 ujian akhir yang harus saya lewati sebagai exit exam). Refleksi diri terakhir yang saya tulis dengan status sebagai koass, semoga bukan jadi refleksi diri terakhir hidup ya, karena FKUI selalu mengajarkan agar mahasiswanya mawas diri. 

Tadi siang setelah ada yang bertanya, saya membaca lagi. Jadi, dibandingkan hanya mendekam di folder laptop dan mungkin tidak akan tersentuh, ada baiknya saya bagikan saja, terutama agar jadi pengingat untuk diri saya sendiri di masa depan. Semoga kamu tidak pernah lupa betapa beruntungnya pernah tumbuh di tempat yang dulu cuma tertulis di dinding kamar. 

“Until you make the unconscious conscious, it will direct your life and you will call it fate.”

Saya kira karena saya sendiri yang memilih untuk masuk ke Fakultas Kedokteran, perjalanan saya akan mudah. Ternyata, saya salah besar. Sejak awal memutuskan untuk memilih jurusan kedokteran, alasan saya tidak pernah berkaitan dengan keinginan membantu orang lain, seperti yang sering terucap oleh teman-teman saya. Alasan utama saya adalah karena saya merasa menyukai ilmunya. Manusia itu kompleks, saya adalah manusia jadi saya ingin terus belajar tentang manusia. Belajar kedokteran artinya belajar untuk mengenal diri sendiri. Sayangnya, bekal rasa ingin tahu itu saja tidak cukup untuk melindungi saya dari rasa lelah dan jenuh, yang ternyata pasti terjadi, dalam perjalanan panjang ini.

Enam bulan pertama saya memasuki dunia perkuliahan saya habiskan dengan mencoba beradaptasi dengan lingkungan kampus yang ternyata sangat heterogen. Tumbuh besar di kota seperti Bogor di mana lingkaran pertemanan saya hanya berkisar dengan orang-orang yang sama, saya terbiasa dengan pergaulan yang lebih “homogen”. Sempat ada masa di mana saya tidak henti-hentinya membandingkan apa yang dulu pernah saya punya dengan kenyataan yang saya hadapi di FK UI. Pada akhirnya, setelah melewati semua proses adaptasi akademis dan nonakademis di tahun pertama, saya menyimpulkan bahwa ketika sedang berproses adaptasi, saya harus mengosongkan gelas ekspektasi saya. Ilmu dan pengalaman baru tidak akan bisa saya dapatkan selama gelas saya penuh, yang ada hanya akan tumpah. Teman-teman yang berbeda dari segi gaya hidup, cara bergaul, pola pikir justru melatih saya untuk menyadari bahwa dunia ini sangat luas, lingkungan saya di FK UI adalah kumpulan mahasiswa- mahasiswa gemilang dari seluruh Indonesia. Perbedaan dan pengalaman bertemu karakteristik orang yang berbeda-beda pun pada akhirnya mengantarkan saya menemukan teman kelompok belajar yang menjadi support system terbesar saya selama 6 tahun terakhir.

Setelah memasuki rutinitas modul kedokteran sejak tingkat 2, saya mulai terbiasa dengan ritme kehidupan seorang mahasiswa kedokteran. Kegiatan sehari-hari saya adalah datang kuliah umum, mengikuti praktikum, menyusun Lembar Tugas Mandiri, menghadiri

diskusi kelompok, belajar untuk ujian, kemudian mengerjakan ujian. Setelah rangkaian ujian selesai, modul akan berganti dan siklus akan kembali berulang ke titik awal dengan diselang oleh rapat-rapat organisasi serta pelaksanaan acara mahasiswa di antaranya. Lama saya terjebak dalam rutinitas tersebut, hingga membuat saya berada di dalam zona nyaman yang nyatanya lebih mirip mode autopilot.

Suatu hari, tepatnya saat modul Saraf Jiwa di tingkat 3, kami mengikuti kuliah tentang neurologi yang disampaikan dr. Pukovisa, SpS yang ternyata dalam beberapa tahun selanjutnya menjadi Pembimbing Akademik saya. Alih-alih bicara tentang neurologi, beliau membuka sesi kuliah tersebut dengan bertanya cita-cita kami. Ada satu kalimat beliau yang saya ingat sekali sampai sekarang, “Kalian bercita-cita masuk FK UI paling telat dari kelas 3 SMA kan? Kalau kalian sudah tingkat 3 namun kalian belum tahu cita-cita kalian apa, berarti kalian mempermalukan diri kalian sendiri.” Saya langsung tersindir dengan perkataan itu, masih saya ingat sekali bahwa keinginan masuk FK UI muncul sejak saya hampir lulus dari Sekolah Menengah Pertama, lebih dari 3 tahun sebelum akhirnya saya mewujudkan impian itu.

Sepulang dari kuliah itu, saya melangkah gontai sambil bertanya-tanya sepanjang perjalanan pulang, “Apa mimpi saya setelah ini?”. Nihil, pertanyaan itu tidak kunjung bersambut dengan jawaban. Hingga suatu titik saya tersadar, saya merasa tidak lagi punya kendali atas diri sendiri. Hidup saya selama ini tidak lebih dari menunggu ujian modul selanjutnya.

Malam itu, saya langsung membuka laptop dan membuka Kalender Akademik, melihat kembali daftar modul yang sudah dilewati. Saya terhenyak ketika menyadari ternyata sudah jauh juga perjalanan yang saya lewati, namun di saat bersamaan, masih jauh juga perjalanan yang harus saya tempuh. Mirisnya, bahkan setelah 3 tahun kuliah saya tidak pernah benar- benar merefleksikan apa saja yang sudah berhasil saya capai dan masih harus saya perjuangkan. Saya berbisik dalam hati, “Kalau pertanyaan apa mimpimu setelah ini terlalu sulit, mungkin bisa dimulai dari apa yang kamu suka dan tidak suka selama ini?”.

Tingkat 3 adalah masa-masa puncak kejenuhan di FKUI bagi saya. Apabila sudah mulai jenuh ketika belajar untuk ujian pun seringkali saya bertanya-tanya, “Saya belajar ini semua untuk siapa sebenarnya? Apa manfaatnya kalau saya bisa mengerjakan soal ujian?”. Setelah saya refleksikan, saya bukan penghapal yang unggul. Selama belajar di preklinik, ilmu yang menurut saya menantang sekaligus menyenangkan adalah fisiologi, saya senang mempelajari sesuatu yang ada alur ceritanya. Sebenarnya, saya sudah mulai menyadari hal tersebut sejak Modul Kardiovaskular, namun belum pernah benar-benar saya tuliskan pada kertas kosong apa saja yang saya suka dan tidak.

Proses perenungan tersebut kemudian berlanjut hingga saya teringat tentang teman saya yang semester lalu mengambil Half Minor di Leiden, Belanda. Semester lalu, saya sempat mengikuti sosialisasi pertukaran pelajar yang ditawarkan FKUI tersebut, sayangnya rasa khawatir saya masih sangat banyak. Saya takut lulus lebih lama dari teman-teman yang lain, saya takut tertinggal, saya takut tidak siap dengan kondisi di luar negeri sana, saya takut tidak siap. Sejuta ragu menggeluti pikiran saya hingga akhirnya tahun lalu saya tidak mendaftar.

Kemudian, saya memberanikan diri untuk mengontak teman saya yang sudah kembali pulang ke Indonesia, bertanya tentang pengalamannya di sana. Saat mendengar cerita-cerita teman saya, yang datang menghampiri bukan lagi perasaan takut, namun rasa penasaran yang membuncah. Lagi-lagi saya membatin, “Mungkin ini saatnya kamu pegang lagi kendali atas dirimu sendiri.”. Terjebak dalam rutinitas modul ke modul membuat sebuah ilusi bahwa saya tidak punya pilihan dan hanya mengikuti arus. Kenyataannya, kehidupan di FKUI menawarkan banyak sekali pilihan yang terkadang masih luput dari perhatian. Kendalinya tetap ada pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, penting untuk berusaha selalu “conscious” dalam setiap keputusan yang dibuat.

Saya pun membuka website program Half Minor yang ditawarkan Leiden University Medical Center, semakin membaca deskripsi programnya, semakin hati saya bergetar. Mimpi masa kecil saya untuk mencicipi kesempatan berkuliah di luar negeri memanggil-manggil, saya kira saya tidak akan bisa mewujudukan mimpi tersebut karena saya adalah mahasiswa kelas regular, belum lagi terkait biaya. Beruntungnya, FKUI selalu menyediakan banyak sekali kesempatan untuk orang-orang yang berani mencoba. Setelah merasa cukup mengulik informasi kegiatan dan persyaratan, dengan tangan bergetar saya menuliskan mimpi saya yang baru: mengikuti pertukaran pelajar. Tujuan utama saya adalah untuk mengisi ulang semangat sebelum masuk dunia klinik. Saya tidak bisa masuk dunia kepaniteraan klinik dengan modal semangat serendah ini.

Kesempatan mengikuti pertukaran pelajar adalah tiket emas untuk sebuah alternatif kehidupan di tengah pendidikan kedokteran ini. Setelah melewati berbagai seleksi, saya berkesempatan mengikuti course Heart and Blood Vessels di Leiden University Medical Center (LUMC) dengan beasiswa penuh dari FKUI. Masa studi selama 10 minggu membuat saya harus cuti selama satu semester dan berbeda timeline pendidikan dengan teman seangkatan. Ternyata itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat selama di FKUI.

Majunya riset dan kentalnya suasana ilmiah di LUMC membuat saya memiliki pandangan baru tentang ilmu kedokteran. Selama ini, pendekatan yang diajarkan untuk

menjadi seorang dokter adalah bagaimana mendiagnosis dan menatalaksana pasien dengan tepat. Padahal, tugas utama dokter bukan hanya tentang menyembuhkan, ilmu kedokteran adalah tentang membantu kualitas hidup orang lain, salah satunya dapat melalui riset. Semangat dosen-dosen di sana dalam mengenalkan riset kepada kami membuat saya menjadi sangat termotivasi untuk meningkatkan kemampuan riset saya. Sekaligus membuka pandangan tentang pilihan karir lain di dunia kedokteran, tidak selamanya menjadi seorang dokter spesialis. Saya mengenal sebuah term baru yaitu “Translational Research.”, ilmu yang mempelajari bagaimana mentranslasikan hasil penelitian di laboratorium ke dunia klinik. Saat mendapat kesempatan berkunjung ke laboratorium mereka, saya menyaksikan bahwa penelitian yang dikerjakan dengan serius dan penuh dedikasi akan bermanfaat bagi banyak orang secara luas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Alternatif kehidupan itu pun memberikan saya jeda yang cukup untuk kembali merefleksikan mengapa di awal saya memilih jalan panjang menjadi dokter ini: karena saya menyukai ilmunya. Saya merasa teramat beruntung FKUI memberikan kesempatan belajar tersebut, menumbuhkan rasa penasaran saya dengan dunia riset sekaligus memupuk mimpi- mimpi saya selanjutnya untuk menjadi seorang dokter yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien lewat penelitian yang saya lakukan di masa depan.

Tidak lama berselang setelah pulang dari Belanda, saya mulai masuk kehidupan klinik. Dengan baterai motivasi yang sudah terisi kembali, saya optimis membayangkan kehidupan klinik akan menjadi pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Kesempatan untuk bertemu dengan pasien langsung. Sayangnya, harapan saya mulai terasa terkikis ketika COVID-19 melanda dan kegiatan pembelajaran kami menjadi jauh berbeda dengan apa yang kami bayangkan. Hampir semua kegiatan belajar dilaksanakan dari rumah dan di depan laptop.

Pelan namun pasti, ketakutan bahwa saya akan kembali merasakan rasa lelah dan jenuh yang bertumpuk-tumpuk seperti masa preklinik sebelumnya mulai hadir. Saya tidak mau perasaan tersebut menghambat produktivitas dan pengalaman belajar saya seperti saat tingkat tiga. Masa kepaniteraan klinik itu singkat, I want to make the best out of it. I want to have control over myself and my own learning journey.

Keputusan saya untuk mengambil cuti satu semester ke Belanda pun memberikan saya pelajaran untuk menjadi lebih akuntabel dan mindful dalam menjalani hari-hari saya. Terkadang manusia terlalu sibuk merencanakan masa depan atau justru terjebak mengenang masa lalu, namun luput untuk menghidupkan masa kini. Rasa jenuh itu mudah sekali muncul jika saya hanya mengikuti arus tanpa benar-benar memaknai pembelajaran yang diberikan, apalagi mayoritas dilakukan secara online. Namun, hati saya merasa lega karena di tengah

keterbatasan yang ada, dosen-dosen kami selalu membesarkan hati kami dengan mengatakan tidak usah rendah diri, tugas kalian itu belajar sebaik-baiknyya. Sesi diskusi kasus hingga larut malam, kesempatan anamnesis dengan pasien meski online, kesempatan mentoring dengan tutor adalah bukti bahwa staf pengajar FKUI pun senantiasa mengusahakan yang terbaik agar kompetensi kami tetap terpenuhi.

Pada hari pertama kerja klinik, saya mendapat giliran ke Poli Urologi di RSCM. Hanya cukup satu hari itu saja, saya langsung tertampar dengan pertanyaan saya sendiri saat preklinik tentang “sebenarnya, selama ini saya belajar untuk apa?”. Interaksi dengan pasien pun semakin terasa ketika saya memeriksa pasien di bangsal dan ditugaskan untuk mem-follow-up nya dalam beberapa hari. Kesempatan berharga bertemu pasien membuat saya langsung sadar bahwa ternyata, ilmu-ilmu yang membuat saya belajar hingga larut malam dan tidak tidur itu memang dibutuhkan. Ada orang-orang yang bisa tertolong kehidupannya dengan ilmu yang kita punya, bukan hanya ilmu teoritis saja, yang lebih penting adalah ilmu komunikasi dan empati.

Saat Janji Kepaniteraan sebelum masuk klinik pun kami sudah pernah berikrar, “Saya akan senantiasa berusaha untuk belajar dengan kemampuan tertinggi yang saya miliki.” Mengingat janji itu, saya langsung merasa malu, apa betul kemampuan tertinggi saya hanya mengikuti kelas dan membiarkan waktu berlalu tanpa benar-benar memaknai ilmu yang saya dapatkan?

Saya pun terpancing untuk mengulik lebih dalam tentang “learning how to learn”. Semata-mata berusaha memperbaiki cara belajar saya di tengah keterbatasan menjadi koass pandemi. Tidak disangka, ada sebuah undangan konferensi tentang Pendidikan Kedokteran di mana salah satu acaranya adalah presentasi penelitian. Saya yang disaat bersamaan sedang penasaran tentang cara belajar menjadi termotivasi untuk melakukan riset dan mengajak tiga orang teman dekat saya untuk membuat penelitian kecil, kami dibimbing oleh dr. Ardi Findyartini, PhD dalam proses pelaksanaan riset tersebut. Riset kami mengangkat topik tentang self-regulated learning (SRL), sebuah konsep yang semula masih asing bagi saya, di masa pandemi COVID-19. SRL didefinisikan sebagai proses partisipasi aktif siswa dalam meregulasi pengalaman belajarnya, terdiri dari fase forethought, performance, dan self- reflection.1 Setelah menyelesaikan riset tersebut, saya mengetahui bahwa tingkat SRL mahasiswa FKUI masih terbilang moderat. Di sisi lain, kemampuan SRL ini sangat bermanfaat untuk memaksimalkan proses belajar dengan metode campuran daring dan luring.

Setelah menyelesaikan riset tersebut, implementasinya saya terapkan di Modul Pre- Internsip (MPI). Modul tersebut adalah modul terakhir kami sebagai mahasiswa FKUI

sekaligus kesempatan belajar yang sangat komprehensif karena itu lah saatnya kami mengintegrasikan semua ilmu yang kami dapat selama stase panjang dan stase pendek. Sebelum bertugas di wahana klinik, puskesmas dan RSUD selama MPI, saya membuat sebuah daftar target tindakan dan kasus yang saya harus dapatkan selama di wahana. Metode seperti itu membuat saya menjadi lebih termotivasi untuk belajar, berlatih dan mencari paparan kasus, sekaligus menjadi lebih mindful menjalani pembelajaran. Meskipun pada akhirnya tidak semua target tercapai, saya merasa bangga karena saya sendiri secara aktif terlibat dalam menentukan target-target belajar saya. Saya pun menjadi memiliki portofolio yang jelas dan dapat saya refleksikan ketika modul berakhir.

Sebagai penutup, FKUI selalu menyediakan ruang untuk bertumbuh. Banyak sekali keberuntungan-keberuntungan yang saya dapat selama di FKUI: teman-teman yang suportif, guru-guru yang inspiratif dan kesempatan-kesempatan yang memaksa saya untuk terus meningkatkan kapasitas diri. FKUI menempa dan mendorong saya untuk menjadi manusia yang tahan banting: memberikan banyak peluang keberhasilan sekaligus tidak jarang juga kegagalan. Meskipun niat saya menjadi dokter diawali hanya dengan rasa penasaran saya dengan ilmu kedokteran, FKUI benar-benar mempersiapkan mahasiswanya untuk menjadi dokter yang berbakti untuk masyarakat dan negara. Hal tersebut yang akhirnya memotivasi saya untuk mencari pengalaman berpraktik di daerah Timur saat internsip nanti. Terbiasa belajar di lingkugan RSCM dan rumah sakit rujukan lainnya dengan fasilitas yang serba lengkap, saya membutuhkan kesempatan belajar untuk mengasah keterampilan dengan fasilitas yang terbatas. Saya pun akan terus menerapkan metode self-regulated learning yang sebelumnya saya pelajari di kesempatan-kesempatan kedepannya.

Sejak hari pertama menginjakan kaki di fakultas ini, tugas belajar sepanjang hayat sudah selalu digaung-gaungkan kepada kami. Proses belajar seorang dokter tidak lantas berhenti hanya dengan meraih sebuah gelar di depan nama, justru gelar tersebut adalah pintu gerbang menuju tanggung jawab lain yang harus dipikul. Pada akhirnya, saya selalu percaya, setiap mimpi-mimpi yang kita punya, baik yang tercapai maupun yang tertunda akan menghantarkan kita pada pintu-pintu baru, termasuk mimpi-mimpi baru. Terimakasih FKUI, saya merasa terhormat menjadi bagian dari Pusat Ilmu Budaya Bangsa. 

No comments:

Post a Comment